Minggu, 07 Agustus 2011

Masyarakat Serise, Menjemput Kematian

PT. Aditya Bumi Pertambangan mengantongi Izin Usaha Produksi untuk membongkar habis dan mengambil mangan dari tanah masyarakat adat Satarteu. Beberapa warga yang memiliki hak atas tanah melayangkan protes kepada Bupati Manggarai Timur, Yoseph Tote. Namun Bupati tak bergeming dan membiarkan peristiwa itu melanda warganya di Satarteu. Kematian di depan mata? Tengah hari Jumat (8/3/2011), sebuah ledakan dahyasat terdengar di kampung Satar Teu, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda. Saat itu saya sedang bicara dengan seorang tua adat di Sana. Sumber ledakan itu ternyata dari pusat lokasi tambang milik PT. Aditya Bumi Pertambangan (ABP) yang jaraknya kurang lebih 1 km dari kampung Satarteu. Menurut warga ledakan itu hampir terjadi setiap hari. “Banyak tanaman kami yang hancur: jagung, kayu. Kami tidak bisa berbuat apa-apa,” keluh bapak Herman Lau yang memiliki tanah di lokasi tersebut yang bersama dengan kelompok 8 berjuang mempertahankan hak ulayat mereka dari arogansi perusahaan yang didukung oleh Bupati Manggarai Timur, Yoseph Tote dan dinas-dinas terkait. ABP merupakan anak perusahaan Good Earth Agrochem Pvt. Lmt (GEA), salah satu perusahaan dari Good Earth Group atau Pramod Budhraja berpusat di Nagpur Maharashtra India. ABP yang berkantor di Wisma Mitra Sunter ini, mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) Produksi dari Bupati Manggarai Timur, Yoseph Tote berdasarkan keputusan Bupati No. HK/81/2009 dengan luas wilayah 2222 ha mencakup wilayah Satarteu, Lengkololok, Tumbak, dan Waso. Dalam peta yang dikeluarkan oleh Bupati Manggarai Timur, Yoseph Tote, Dampek juga masuk dalam lokasi operasi. Sebelumnya PT. Good Earth Indonesia(PT. GEI) melakukan kegiatan penambangan di Satarteu. Rupanya PT. GEI juga merupakan anak perusahaan Good Earth Agrochem pvt. Lmt (http://www.indiamart.com/goodearth-grochem/aboutus.html). Sementara itu, Konsultan Teknik PT. ABP, Arif Setiyawan mengatakan bahwa PT. ABP berencana mengelola pertambangan di tiga lingko seluas 2.000 hektar. Namun yang sudah dikelola baru 15 ha di Lengko Lolok. Pembebasan tanah bagi 117 KK pemilik lingko sudah dilakukan dengan total biaya Rp 380 juta. Dari total biaya masing-masing Rp 15.000.000,00 baru diserahkan Rp 7 juta/KK. Sementara dana sisa pembebasan akan diserahkan dalam waktu tidak lama lagi (Pos Kupang.com, 23 Juni 2011). Konflik pertambangan di Satarteu sebenarnya sudah terjadi sejak Maret 2009. Bulan Maret 2009 masyarakat adat Satarteu dikejutkan oleh sebuah surat Kesepakatan antara Masyarakat Satar Teu dengan PT. Aditya Bumi Pertambangan yang menyebutkan bahwa Tua Teno Kp. Satar Teu, Damianus Su untuk dan atas nama 117 KK masyarakat Satar Teu menyetujui untuk menyerahkan 3 lingko, yakni Nggorang 1, Nggorang 2 dan Wejang Nara kepada PT. ABP. Dalam pertemuan dengan tim dari JPIC OFM dan SVD bulan Maret 2009 di Satar Teu, masyarakat Satar Teu mengatakan bahwa surat kesepakatan tersebut adalah manipulasi yang telah dilakukan oleh PT. ABP dengan tua teno tanpa sepengetahuan masyarakat adat Satar Teu seluruhnya. Tanda tangan yang terlampir dalam surat tersebut juga manipulasi. Sebab tanda tangan warga yang tertera dalam surat itu merupakan tanda tangan menerima uang Rp 1 juta rupiah untuk mengganti kerugian 800 ton mangan yang dicuri oleh PT. GEI dari tanah milik masyarakat, bukan tanda tangan penyerahan 3 lingko yang disebutkan dalam surat kesepakatan tersebut (Gita Sang Surya, ed. Mei-Juni 2009). Menurut Herman Lau dan Gabriel Soda ada delapan pemilik tanah di lokasi Nggorang 1, Nggorang 2 dan Wejang Nara yang tidak menyerahkan lahannya kepada PT. ABP, termasuk Herman Lau sendiri dan Gabriel Soda. Para pemilik lahan tersebut sudah melaporkan hal tersebut kepada Bupati Manggarai Timur, Yoseph Tote. Namun sampai sekarang Bupati tidak memberi tanggapan apa-apa terhadap keluhan masyarakat yang tanah-tanahnya hancur akibat aktivitas pertambangan. Menurut Herman Lau, kegiatan pertambangan di lingko Nggorang 1, Nggorang 2 dan Wejang Nara terus berjalan. PT. ABP tidak mau tahu dengan keluhan masyarakat, apalagi pemerintah Manggarai Timur, tetap diam dan kesannya membiarkan kehancuran terjadi di Satar Teu. Bagi Herman Lau dan warga yang menolak pertambangan, kehancuran tanah dan lingkungan hidup mereka sama saja menghancurkan kehidupan dan sumber hidup mereka baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Hal ini berbeda dengan sikap pemerintah Manggarai Timur yang menilai pertambangan membantu masyarakat Manggarai Timur. Dalam diskusi terbatas antara staf PT ABP dengan staf Pemda Matim di Aula Kantor Bupati Matim, Selasa (21/6/2011) Maksi Ngkeros, Willy Nurdin dan Thomas Ngalong mengatakan, prinsipnya Pemda Matim mendukung usaha pertambangan, sebab investasi pertambangan membantu masyarakat Manggarai Timur. Namun pihak perusahaan harus memenuhi semua kewajiban sesuai aturan serta membuat jaminan reklamasi dan corporate social and responbility (CRS)”. (POS-KUPANG.COM, 23/6/2011). Di berita yang sama, ketiga pengurus publik itu juga berbicara tentang studi kelayakan dan jaminan bagi masyarakat: “Jika perusahaan memenuhi seluruh persyaratan, maka tidak ada alasan daerah tidak memberi izin kuasa pertambangan. Namun apabila perusahaan mengabaikan studi kelayakan berikut jaminan bagi masyarakat lingkar tambang, maka daerah tidak akan memberi izin karena perusahaan hanya mengutamakan keuntungan dan mengabaikan kewajiban terhadap daerah dan masyarakat. Soal rencana membangun pabrik pengolahan pemurnian mangan harus dipaparkan dengan konsekuensi yang akan timbul”. (POS-KUPANG.COM, 23/6/2011) Pertanyaannya, apakah studi kelayakan dan jaminan bagi masyarakat yang dimintakan oleh pemerintah kepada PT. ABP sudah dikabulkan oleh PT. ABP? Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 22 ayat (1)menegaskan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. Dan Pasal 24 nya berbunyi: “Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Artinya tuntutan pemerintah agar PT. ABP melakukan studi kelayakan dan jaminan bagi masyarakat sudah terlambat. Karena seharusnya studi kelayakan itulah yang pertama harus dilakukan sebelum pemerintah memberikan Izin Usaha Pertambangan Produksi kepada PT. ABP. Lalu mengapa pemerintah Manggarai Timur baru menuntut studi kelayakan dan jaminan bagi masyarakat setelah Bupati Manggarai Timur mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Eksploitasi pada tahun 2009? Apakah ini akal-akalan saja agar tidak dituntut oleh masyarakat? Semoga saja PT. Aditya Bumi Pertambangan yang sedang melakukan aktivitas pertambangan dengan menggunakan ledakan di Satar Teu, bukan melakukan kegiatan Illegal Mining. Hanya pemerintah Manggarai Timur, secara khusus Bupati Manggarai Timur sajalah yang tahu, karena dialah yang berhak mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Produksi kepada PT. Aditya Bumi Pertambangan. *** (Valens Dulmin) Sumber: Gita Sang Surya/edisi Juli-Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar