Kamis, 01 September 2011

Our demand for metals could cost us the Earth

Our demand for metals Could cost us the Earth

For too long mining companies have used the mantra of growth to excuse environmental destruction

Oleh Melody Kemp

An aerial view of the environmental damage caused by tin mining in Indonesia's Bangka Belitung province. Photograph: Stringer/Indonesia/Reuters










Have you noticed that mining is increasingly getting up people's noses? Globally, more communities are fighting it. Gaggles of poor villagers are taking on well-connected, cashed-up companies representing the brutish but powerful foundation of the globalised free market system. You have to admire their style.

Take Sumba, eastern Indonesia, which is currently pocked with the telltale signs of gold exploration. Its seams, Australian Hillgrove Resources says, are rich and promising. The local people's response? Consistent riots and outrage. As they see it, gold mining threatens their land, water, culture – their very being. It usually takes about 691,000 litres (almost 700 cubic meters) of water to produce one kilo of glitter.

In the necklace of dry eastern Indonesian islands that hang delicately above Australia, water is more precious than gold. Australian behemoth BHP, which recently posted a A$22.5bn (£15bn) profit, ceded the licence after local protests showed no sign of abating. Hillgrove cannot say it wasn't warned.

On Palawan, a glistening gem of an island in the Philippines, a story all too familiar in Asia is also unfolding. A rich and powerful Forbes-listed airline magnate, Lucio Tan, in partnership with a UK mining giant Toledo Nickel, wants to mine one of Asia's last significant old growth forests (thus reducing significant carbon sequestration potential) to take advantage of record prices for the nickel needed to run hybrid cars and satisfy our addiction to gadgets. But the tech-savvy indigenous people would rather have trees. On the Philippine island of Luzon, mining companies with names like health resorts, Oceana and Oxiana, are both facing opposition from the locals.

In Australia, things are no better. A random news sample indicates that farmers, not known for their radicalism, have lately been sitting resolutely on folding chairs bearing placards against coal seam mining. Western Australian farmers were told to remove signs opposing an iron mine threatening to sap water needed for crops and livestock.

As global financial institutions seismically heave, demand for metals – gold in particular – intensifies. Shareholders might nervously read reports of protests, but their loyalty is bought by increased dividends. How can the environment win against such kitchen bribery? The plodding Australian resources minister Martin Ferguson dismissed the opposition, asserting the people have no rights over what lies beneath, adding ominously that farmers and indigenous peoples cannot veto mining. We are told it is in the national interest, but increasingly that is code for elite interests. After all, the test of any participatory democracy is the power of its peoples to influence their destiny. Mining companies thus far have used the mantra of growth and profits to excuse their habitat destruction.

The environment is one of the last of the global commons, and the sociocultural consequences and environmental costs of mining are increasingly unacceptable. This is especially so on small islands where water and arable land are limited. Papua New Guinea's minister for mines Byron Chan recently announced that he was changing the law to "hand ownership from the government to land owners". Greg Anderson, of the Australian chamber of mines and petroleum, choked on his tie when asked to respond. Obstacles and community shareholders are clearly not his thing.

Sumba, where electricity is intermittent, cannot spare the 143 gigajoules of energy it takes to produce one kilo of gold – nor do they need the greenhouse emissions or toxic additives like cyanide. Merely opening the earth delivers methane and carbon emissions. More carbon is produced by processing, transport and manufacture. The price of gold cannot possibly make up for what the environment pays.
In a dazzling display of chutzpah, the Queensland environmental defenders' office, along with Friends of the Earth, launched a court case against Xstrata coal, opposing a 32,000 hectare claim in Western Queensland. The EDO's case cites the future climate consequences to the global environment of both the mine and the coal's future use. One is tempted to cheer.

Donald Brown's series on points of ethics might have inspired them. He posits that we have not confronted "governments or individuals who oppose national climate change policies on the grounds of national economic cost alone whether they deny that, in addition to national economic interest, nations must comply with their obligations, duties, and responsibilities to prevent harm to millions of poor, vulnerable people around the world". He could be talking about mining when he says "the potential harms are grave to some people or ecological systems, and… those being put at risk have not consented to be put at risk".
Until now, mining has been a favoured child, not overly fettered by ethics. It's time that people's rights took precedence. Ethics and morality, seemingly redundant in an instant gratification world, may soon re-enter the dance, nudging unbridled growth off the stage.

Sumber: http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2011/sep/01/environment-ethics-mining

Minggu, 07 Agustus 2011

Masyarakat Serise, Menjemput Kematian

PT. Aditya Bumi Pertambangan mengantongi Izin Usaha Produksi untuk membongkar habis dan mengambil mangan dari tanah masyarakat adat Satarteu. Beberapa warga yang memiliki hak atas tanah melayangkan protes kepada Bupati Manggarai Timur, Yoseph Tote. Namun Bupati tak bergeming dan membiarkan peristiwa itu melanda warganya di Satarteu. Kematian di depan mata? Tengah hari Jumat (8/3/2011), sebuah ledakan dahyasat terdengar di kampung Satar Teu, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda. Saat itu saya sedang bicara dengan seorang tua adat di Sana. Sumber ledakan itu ternyata dari pusat lokasi tambang milik PT. Aditya Bumi Pertambangan (ABP) yang jaraknya kurang lebih 1 km dari kampung Satarteu. Menurut warga ledakan itu hampir terjadi setiap hari. “Banyak tanaman kami yang hancur: jagung, kayu. Kami tidak bisa berbuat apa-apa,” keluh bapak Herman Lau yang memiliki tanah di lokasi tersebut yang bersama dengan kelompok 8 berjuang mempertahankan hak ulayat mereka dari arogansi perusahaan yang didukung oleh Bupati Manggarai Timur, Yoseph Tote dan dinas-dinas terkait. ABP merupakan anak perusahaan Good Earth Agrochem Pvt. Lmt (GEA), salah satu perusahaan dari Good Earth Group atau Pramod Budhraja berpusat di Nagpur Maharashtra India. ABP yang berkantor di Wisma Mitra Sunter ini, mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) Produksi dari Bupati Manggarai Timur, Yoseph Tote berdasarkan keputusan Bupati No. HK/81/2009 dengan luas wilayah 2222 ha mencakup wilayah Satarteu, Lengkololok, Tumbak, dan Waso. Dalam peta yang dikeluarkan oleh Bupati Manggarai Timur, Yoseph Tote, Dampek juga masuk dalam lokasi operasi. Sebelumnya PT. Good Earth Indonesia(PT. GEI) melakukan kegiatan penambangan di Satarteu. Rupanya PT. GEI juga merupakan anak perusahaan Good Earth Agrochem pvt. Lmt (http://www.indiamart.com/goodearth-grochem/aboutus.html). Sementara itu, Konsultan Teknik PT. ABP, Arif Setiyawan mengatakan bahwa PT. ABP berencana mengelola pertambangan di tiga lingko seluas 2.000 hektar. Namun yang sudah dikelola baru 15 ha di Lengko Lolok. Pembebasan tanah bagi 117 KK pemilik lingko sudah dilakukan dengan total biaya Rp 380 juta. Dari total biaya masing-masing Rp 15.000.000,00 baru diserahkan Rp 7 juta/KK. Sementara dana sisa pembebasan akan diserahkan dalam waktu tidak lama lagi (Pos Kupang.com, 23 Juni 2011). Konflik pertambangan di Satarteu sebenarnya sudah terjadi sejak Maret 2009. Bulan Maret 2009 masyarakat adat Satarteu dikejutkan oleh sebuah surat Kesepakatan antara Masyarakat Satar Teu dengan PT. Aditya Bumi Pertambangan yang menyebutkan bahwa Tua Teno Kp. Satar Teu, Damianus Su untuk dan atas nama 117 KK masyarakat Satar Teu menyetujui untuk menyerahkan 3 lingko, yakni Nggorang 1, Nggorang 2 dan Wejang Nara kepada PT. ABP. Dalam pertemuan dengan tim dari JPIC OFM dan SVD bulan Maret 2009 di Satar Teu, masyarakat Satar Teu mengatakan bahwa surat kesepakatan tersebut adalah manipulasi yang telah dilakukan oleh PT. ABP dengan tua teno tanpa sepengetahuan masyarakat adat Satar Teu seluruhnya. Tanda tangan yang terlampir dalam surat tersebut juga manipulasi. Sebab tanda tangan warga yang tertera dalam surat itu merupakan tanda tangan menerima uang Rp 1 juta rupiah untuk mengganti kerugian 800 ton mangan yang dicuri oleh PT. GEI dari tanah milik masyarakat, bukan tanda tangan penyerahan 3 lingko yang disebutkan dalam surat kesepakatan tersebut (Gita Sang Surya, ed. Mei-Juni 2009). Menurut Herman Lau dan Gabriel Soda ada delapan pemilik tanah di lokasi Nggorang 1, Nggorang 2 dan Wejang Nara yang tidak menyerahkan lahannya kepada PT. ABP, termasuk Herman Lau sendiri dan Gabriel Soda. Para pemilik lahan tersebut sudah melaporkan hal tersebut kepada Bupati Manggarai Timur, Yoseph Tote. Namun sampai sekarang Bupati tidak memberi tanggapan apa-apa terhadap keluhan masyarakat yang tanah-tanahnya hancur akibat aktivitas pertambangan. Menurut Herman Lau, kegiatan pertambangan di lingko Nggorang 1, Nggorang 2 dan Wejang Nara terus berjalan. PT. ABP tidak mau tahu dengan keluhan masyarakat, apalagi pemerintah Manggarai Timur, tetap diam dan kesannya membiarkan kehancuran terjadi di Satar Teu. Bagi Herman Lau dan warga yang menolak pertambangan, kehancuran tanah dan lingkungan hidup mereka sama saja menghancurkan kehidupan dan sumber hidup mereka baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Hal ini berbeda dengan sikap pemerintah Manggarai Timur yang menilai pertambangan membantu masyarakat Manggarai Timur. Dalam diskusi terbatas antara staf PT ABP dengan staf Pemda Matim di Aula Kantor Bupati Matim, Selasa (21/6/2011) Maksi Ngkeros, Willy Nurdin dan Thomas Ngalong mengatakan, prinsipnya Pemda Matim mendukung usaha pertambangan, sebab investasi pertambangan membantu masyarakat Manggarai Timur. Namun pihak perusahaan harus memenuhi semua kewajiban sesuai aturan serta membuat jaminan reklamasi dan corporate social and responbility (CRS)”. (POS-KUPANG.COM, 23/6/2011). Di berita yang sama, ketiga pengurus publik itu juga berbicara tentang studi kelayakan dan jaminan bagi masyarakat: “Jika perusahaan memenuhi seluruh persyaratan, maka tidak ada alasan daerah tidak memberi izin kuasa pertambangan. Namun apabila perusahaan mengabaikan studi kelayakan berikut jaminan bagi masyarakat lingkar tambang, maka daerah tidak akan memberi izin karena perusahaan hanya mengutamakan keuntungan dan mengabaikan kewajiban terhadap daerah dan masyarakat. Soal rencana membangun pabrik pengolahan pemurnian mangan harus dipaparkan dengan konsekuensi yang akan timbul”. (POS-KUPANG.COM, 23/6/2011) Pertanyaannya, apakah studi kelayakan dan jaminan bagi masyarakat yang dimintakan oleh pemerintah kepada PT. ABP sudah dikabulkan oleh PT. ABP? Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 22 ayat (1)menegaskan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. Dan Pasal 24 nya berbunyi: “Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Artinya tuntutan pemerintah agar PT. ABP melakukan studi kelayakan dan jaminan bagi masyarakat sudah terlambat. Karena seharusnya studi kelayakan itulah yang pertama harus dilakukan sebelum pemerintah memberikan Izin Usaha Pertambangan Produksi kepada PT. ABP. Lalu mengapa pemerintah Manggarai Timur baru menuntut studi kelayakan dan jaminan bagi masyarakat setelah Bupati Manggarai Timur mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Eksploitasi pada tahun 2009? Apakah ini akal-akalan saja agar tidak dituntut oleh masyarakat? Semoga saja PT. Aditya Bumi Pertambangan yang sedang melakukan aktivitas pertambangan dengan menggunakan ledakan di Satar Teu, bukan melakukan kegiatan Illegal Mining. Hanya pemerintah Manggarai Timur, secara khusus Bupati Manggarai Timur sajalah yang tahu, karena dialah yang berhak mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Produksi kepada PT. Aditya Bumi Pertambangan. *** (Valens Dulmin) Sumber: Gita Sang Surya/edisi Juli-Agustus 2011

Minggu, 17 Juli 2011

Warga Butuh Jaminan




Aktivitas PT. Aditya Bumi Pertambangan di Satarteu, Kec. Lamba Leda, Kab. Manggarai Timur



Kamis, 23 Juni 2011 | 23:06 WITA

POS-KUPANG.COM, BORONG -- Pemerintah Daerah (Pemda) Manggarai Timur (Matim) dan DPRD setempat menuntut jaminan dan studi kelayakan terkait kegiatan pertambangan di Lengko Lolok, Kecamatan Lamba Leda.

Jaminan menjadi kekuatan hukum bagi daerah untuk mengeluarkan izin usaha pertambangan kepada PT Aditya Bumi Pertambangan (ABP) yang melakukan kegiatan di wilayah itu. Tuntutan ini  terungkap dalam diskusi terbatas antara staf PT ABP dengan staf Pemda Matim di Aula Kantor Bupati Matim, Selasa (21/6/2011).

Diskusi  dipandu Plt.  Sekda Matim, Ir. Maksi Ngkeros. Hadir dalam diskusi itu, Kadis Pertambangan, Thomas Ngalong, Kepala Badan Lingkungan Hidup, Agus Kabur, dan jajaran SKPD terkait. Hadir juga Wakil Ketua DPRD Matim, Willy Nurdin, dan Ketua Komisi B, Elias Komi, Camat Lamba Leda, Sebastian Ndujung, Direktur  PT ABP, Rishi Budharaja, General Manajer Site, Rajs Kumar dan Technical Consultan, Arif Setiyawan.

Maksi Ngkeros, Willy Nurdin dan Thomas Ngalong mengatakan, prinsipnya Pemda Matim mendukung usaha pertambangan, sebab investasi pertambangan membantu masyarakat Manggarai Timur. Namun pihak perusahaan harus memenuhi semua kewajiban sesuai aturan serta membuat jaminan reklamasi dan corporate social and responbility (CRS).

Minggu, 12 Juni 2011

Pengusaha Terima Izin Tambang Mangan





SERAHKAN IZIN --- Wakil Bupati TTS, Drs. Benny Litelnoni, menyerahkan izin pertambangan mangan kepada dua investor di ruang kerjanya, Selasa (31/5/2011).


Sabtu, 4 Juni 2011 | 22:22 WITA

SOE, POS-KUPANG.COM —  Wakil Bupati Timor Tengah Selatan (TTS), Drs. Benny Litelnoni, didampingi Sekda TTS, Drs. Salmun Tabun, dan Kabid Perizinan Dinas Pertambangan TTS, G. Usboko, menyerahkan dua dari lima IUP eksplorasi tambang mangan yang diajukan investor pada tahun 2008 lalu. Penyerahan izin ini dilakukan di ruang kerjanya, Selasa (31/5/2011).

Dari tiga IUP,  dua diserahkan wakil bupati kepada Direktur PT Elang Perkasa, Edijanto, dan Direktris PT Nisso Indonesia Resourcess, Yenny Lestari. Sedangkan izin milik PT Berkat Esai Minning sudah diserahkan satu minggu sebelumnya oleh Bupati TTS, Ir. Paul Mella. Wabup Litelnoni mengatakan, dengan menyerahkan SK Bupati, maka investor sudah bisa beraktivitas sesuai ketentuan yang ada.

Edijanto menyampaikan terima kasih kepada Pemda TTS yang telah mengeluarkan izinnya dan siap melakukan eksplorasi sesuai ketentuan yang berlaku.
Walau demikian, Edijanto mengeluh soal luas lahan yang tidak sesuai dengan yang diusulkannya. “Saya mengajukan izin dan membayar jaminan kesanggupan untuk lahan  seluas 9.000 ha dan 12.290 ha dengan harga satuan Rp 10.000 per ha. Izin yang dikeluarkan hanya 5.000 ha dan sisanya dikemanakan tidak ada penjelasan,” tanya Edijanto.

Namun Edijanto bersyukur bisa mendapat lahan tambang 5.000 ha. Namum sisa lahan yang diajukan akan menjadi persoalan jika diberikan kepada investor lain. “Saya akan melaporkan bupati dan kepala dinas ke Dirjen Pertambangan,” katanya.
Sekda TTS, Salmun Tabun, mengatakan, izin sudah ditandatangani bupati dan jika ada hal yang tidak sesuai maka bisa dikonsultasikan dan ditinjau kembali.
“Ketentuannya jika ada aturan yang lebih tinggi dan aturan yang di bawah tidak sesuai, maka akan direvisi kembali. Dan intinya keputusan ini sudah selesai dan sudah disahkan sehingga investor bisa melakukan kegiatan lebih lanjut di lapangan.
Dihubungi melalui ponselnya, Selasa (1/6/2011), Ketua DPRD TTS, Eldat Nenabu, mengatakan, TTS membutuhkan investor untuk membangun daerah seperti yang dilakukan PT SMR selama ini. “Yang penting harus banyak investor sehingga ada persaingan dan masyarakat mendapat hasil yang maksimal,” katanya.

Sebagai contoh, kata Nenabu, dalam waktu dekat PT SMR akan membayar upah yang menjadi hak masyarakat sebesar Rp 1,5 miliar. Ini hal yang luar biasa yang harus disyukuri. Menurut Nenabu, setiap investor yang masuk ke TTS harus dilindungi sehingga betul-betul merasa aman dan bisa bekerja maksimal untuk membangun perekonomian masyarakat di daerah.

Menurutnya, pembangunan di daerah tidak bisa mengandalkan PAD semata, tetapi membutuhkan investor untuk percepatan pembangunan melalui investasi sesuai kesepakatan dan perjanjian kerja. “Daerah yang mau maju harus banyak investor. Harap APBD sampai kapan pun tidak akan bisa,” tegasnya.

Sumber: POS KUPANG.COM

Minggu, 13 Maret 2011

Menggugat Dugaan Praktek Illegal Mining di Manggarai

Menggugat Dugaan Praktek Illegal Mining di Manggarai

Oleh Edi Danggur, SH,MM, MH 
Penulis adalah Advokat dan Ketua Umum Forum Advokat Manggarai Raya (Famara) di Jakarta



 (Foto: JPIC OFM) Lokasi Pertambangan Mangan PT. Sumber Jaya Asia di Hutan Lindung Nggalak Rego RTK 103. 
DALAM opini berjudul "Jalan Keluar Kriminalisasi Pejabat dan Pengusaha Pertambangan di NTT" (PK,10/2), Upa Labuhari menuding aparat penegak hukum di NTT telah mengkriminalisasi pengusaha dan pejabat pertambangan di NTT (alinea 1). Dia mencontohkan Polres Manggarai telah menetapkan Direksi PT Sumber Jaya Asia (PT SJA) sebagai tersangka pelaku penambangan di kawasan hutan lindung Reo (alinea 6). 


Dasar tudingan Upa Labuhari adalah Keputusan Biro Analisis Bareskrim Mabes Polri yang menyebutkan Polres Manggarai telah bertindak jauh untuk menetapkan Direksi PT SJA sebagai tersangka sebelum memiliki bukti konkret bahwa kawasan penambangan yang memiliki izin Kuasa Pertambangan (KP) dari Pemda Manggarai adalah kawasan hutan lindung (alinea 7).

Opini Upa Labuhari ini tentu saja memunculkan persoalan hukum (legal issues). Pertama, siapa atau instansi manakah yang secara hukum berwenang untuk menentukan kawasan hutan lindung, apakah Biro Analisis Bareskrim Mabes Polri ataukah pemerintah, dalam hal ini menteri kehutanan? Kedua, apakah benar tambang  PT SJA beroperasi pada kawasan hutan lindung? Ketiga, apakah larangan menambang pada kawasan hutan lindung itu bersifat 'hukum memaksa' atau bersifat 'hukum mengatur'?

Wewenang Menteri Kehutanan
Sesuai ketentuan Pasal 33 UUD 1945, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan harus dijaga kelestariannya. Tentu saja penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan, tetapi negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan.

Itu berarti bahwa pemerintah berwenang untuk menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau menetapkan suatu kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan (Vide Pasal 4 ayat (1) huruf b UU 41/1999 tentang Kehutanan). Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada masyarakat maka pemerintah wajib menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan (Vide Pasal 14).

Dengan adanya pengukuhan kawasan hutan oleh pemerintah, maka hutan tersebut hanya dapat dimanfaatkan dengan memperhatikan sifat, karakteristik dan kerentanannya serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Penggunaan kawasan hutan yang bertentangan dengan fungsi pokoknya hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan pemerintah yang didasarkan pada hasil penelitian terpadu (Vide Pasal 19).

Itu pun syarat-syaratnya ketat dan sangat restriktif, dimana penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh menteri kehutanan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan (Vide Pasal 38 ayat 3).

Dalam seluruh uraian di atas, sesuai dengan pengertian yang diuraikan dalam Pasal 1 butir 14 dan 15 UU No.41/1999 yang dimaksudkan dengan pemerintah adalah pemerintah pusat sedangkan menteri yang dimaksud adalah menteri kehutanan. Jadi, yang secara hukum berwenang mengatur, mengurus dan menetapkan hutan dan kawasan hutan adalah pemerintah pusat, dalam hal ini menteri yang membidangi kementerian teknis, yaitu menteri kehutanan dan  bukan Biro Analisis Bareskrim Mabes Polri sebagaimana didalilkan Upa Labuhari.


Beroperasi di Hutan Lindung
Hukum pertambangan tak pernah beroperasi di ruang hampa. Sehingga operasi tambang sebenarnya bukan sekadar bagaimana melaksanakan hukum pertambangan semata. Oleh karena itu pengusaha tambang juga harus melaksanakan ketentuan hukum terkait lainnya termasuk hukum kehutanan. Maka legalitas perizinan KP yang ada di tangan PT SJA tidak otomatis melegitimasinya untuk beroperasi di kawasan hutan tanpa mendapat izin menteri kehutanan.

Persoalannya, apakah tambang PT SJA beroperasi di kawasan hutan lindung? Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU No.41/1999), suatu kawasan dikukuhkan sebagai kawasan hutan harus melalui 4 tahapan proses: (a) penunjukan kawasan hutan; (b)  penataan batas kawasan hutan; (c) pemetaan kawasan hutan; dan (d) penetapan kawasan hutan.

Kawasan Hutan Nggalak Rego RTK 103 terbukti telah dikukuhkan sebagai kawasan hutan lindung melalui 4 tahapan  proses tersebut, yaitu: (a) SK Menteri Kehutanan No.89/Kpts-II/1983 tentang penunjukan areal hutan di wilayah Propinsi NTT dan kemudian diperbarui dengan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.423/Kpts-II/ 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi NTT dimana dalam SK tersebut Kawasan Hutan Nggalak Rego RTK 103 telah ditetapkan sebagai hutan lindung; (b) adanya penataan tata batas hutan yang diikuti oleh instansi pemerintah daerah dan provinsi yang ditandai dengan penanaman pilar tata batas; (c) ada peta tata batas sebagian kelompok Hutan Nggalak Rego (RTK 103) dengan skala 1:20.000. Peta tata batas ini dilampirkan dalam Berita Acara Tata Batas Kelompok Hutan Nggalak Rego (RTK 103) tanggal 28 Februari 1997.

Atas dasar itu maka Polres Manggarai telah menangkap dan menahan beberapa warga masyarakat adat, termasuk Tua Teno Kampung Robek, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai ketika mereka didapati sedang menebang beberapa pohon di Kawasan Hutan Lindung Nggalak Rego RTK 103 tersebut. Bahkan ada di antara mereka yang diputus bersalah dan menjalani hukuman penjara.

Kejadian ini telah mengusik rasa keadilan masyarakat setempat. Beberapa aktivis LSM  melakukan protes agar Bupati Manggarai dan Polres Manggarai bersikap adil. Kalau masyarakat yang sekadar menebang beberapa pohon di dalam kawasan hutan lindung saja ditangkap, ditahan dan dipenjara, maka polisi juga harus berani menangkap Direksi PT SJA. Sebab KP yang dipegang PT SJA bukan sarana melegitimasi pelanggaran hukum untuk beroperasi di hutan lindung.

Menanggapi reaksi masyarakat tersebut, maka melalui Surat  No.0019/SJA/IX/2008 tanggal 24 November 2008, PT SJA  mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan lindung kepada menteri kehutanan. Surat ini merupakan alat bukti yang sangat sempurna karena berisi pengakuan PT SJA bahwa dia telah beroperasi di hutan lindung. Sebab kalau benar dia tidak beroperasi di hutan lindung, maka tidaklah mungkin dia menulis surat permohonan izin tersebut kepada menteri kehutanan.
Protes atas sikap tidak adil Polres Manggarai itu meluas sampai ke Jakarta.

Dalam audiensi JPIC OFM-KPM Tenang Tana Ge tanggal 5 Desember 2008 dengan Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban, dikeluhkan sikap berat sebelah pemda dan kepolisian terhadap pelanggaran hukum di kawasan hutan lindung. Menhut pun berjanji segera mengutus stafnya ke Reo guna meneliti apakah operasi tambang PT SJA itu berada di kawasan hutan lindung.  Hasilnya terbukti bahwa tambang PT SJA beroperasi di hutan lindung RTK 103 Reo tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Maka melalui surat No.S.40/Menhut-VII/2009 tanggal 27 Januari 2009 Menhut mohon kepada Gubernur NTT mengambil tindakan terhadap PT SJA sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Surat Menhut kepada Gubernur NTT tersebut juga ditembuskan kepada Dirjen PHK, Kepala BPK, Bupati Manggarai, Kadishut NTT dan Direktur JPIC OFM.
Pada hari yang sama, Menhut MS Kaban melalui Surat No.S.41/Menhut-VII/2009 tanggal 27 Januari 2009 menolak permohonan pinjam pakai kawasan hutan yang diajukan oleh PT SJA tersebut. Yang menarik bahwa dalam surat itu Menhut  juga  mengingatkan PT SJA mengenai ketentuan Pasal 50 ayat (3) mengenai larangan bagi setiap orang untuk mengerjakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan merambah kawasan hutan.

Tembusan surat itu disampaikan kepada Presiden RI, Menteri ESDM, Kapolri, NTT, Gubernur NTT, Bupati Manggarai, Kadishut NTT dan Kadishut Manggarai, termasuk Kapolda NTT. Sehingga berdasarkan surat-surat menhut tersebut, Kapolda NTT melalui Surat No.B/80/II/2009/Dit.Reskrim tanggal 11 Februari 2009 memerintahkan Kapolres Manggarai segera melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap Direksi PT SJA.

Setelah mendapat tembusan surat dari menhut tersebut, Bupati Manggarai Drs. Christian Rotok, akhirnya sadar telah menjadi bagian dari masalah itu (part of problem). Maka dengan SK No.HK/72/2009 tanggal 12 Maret 2009 Bupati Manggarai mencabut 44,82 hektar wilayah KP PT SJA yang berada dalam kawasan hutan lindung dari luas KP seluruhnya 77,43 hektar. SK ini merupakan alat bukti pengakuan Bupati Manggarai bahwa 58% wilayah KP PT SJA di Reo berada dalam kawasan hutan lindung.

Atas dasar itu, tidak hanya Direksi PT SJA yang harus dimintakan pertanggungjawaban hukum, tetapi juga Bupati Manggarai Drs. Christian Rotok, karena terbukti telah memberikan izin tambang di kawasan hutan lindung kepada PT SJA. Sebab, sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, Bupati Manggarai paling mengetahui mana bagian wilayahnya yang merupakan kawasan hutan lindung.
Bupati tidak dapat beralasan bahwa dia tidak tahu apakah koordinat KP PT SJA itu berada dalam kawasan hutan lindung atau tidak. Sebab, dalam penegakan hukum, berlaku asas universal: ketidaktahuan akan hukum atau undang-undang bukan merupakan alasan pemaaf (ignorantia legis excusat neminem). Asas universal ini telah diadopsi dalam berbagai Putusan MA di mana tiap orang dianggap mengetahui aturan-aturan dan larangan-larangan dalam hukum, walaupun dalam kenyataannya tidak semua aturan dan larangan itu diketahui (Vide Putusan MA No.645K/Sip/1970 tanggal 10 Februari 1971).

Larangan Bersifat Memaksa
Apakah larangan menambang di dalam kawasan hutan itu dapat disimpangi? Dalam ilmu hukum dikenal adanya aturan hukum yang bersifat mengatur (aanvuelendrecht atau directory rule) dan aturan hukum yang bersifat memaksa (dwingenrecht atau mandatory law). Aturan hukum yang bersifat mengatur, pelaksanaannya dapat disimpangi, tidak disertai sanksi hukum kalau ada yang melanggarnya. Maka dalam konteks tertentu, ketentuan hukum yang bersifat mengatur itu merupakan ketentuan hukum yang tidak sempurna (lex imperfecta).

Sebaliknya  aturan hukum yang bersifat memaksa (dwingenrecht atau mandatory law), sifatnya sangat normatif, suka atau tidak suka, harus dilaksanakan, tidak dapat disimpangi. Sehingga kalau aturan hukum itu dilanggar ada sanksi hukumnya, baik pidana penjara maupun pidana denda. Larangan menambang pada kawasan hutan lindung merupakan aturan hukum yang bersifat memaksa, tidak dapat disimpangi, bahkan berlakunya larangan itu tidak tergantung pada ada atau tidak ada  peraturan daerah.

Dengan demikian penulis menolak dengan tegas argumentasi PT SJA bahwa lokasi penambangan PT SJA bukan lokasi hutan lindung dengan alasan belum ada peraturan daerah yang menetapkan kawasan itu sebagai kawasan hutan lindung (Kompas, 10 Oktober 2009). Sebab, larangan menambang di kawasan hutan lindung itu bukan hanya berlaku di Manggarai atau NTT saja, tetapi larangan itu berlaku umum untuk seluruh Indonesia.

Dalam sidang di Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Februari 2011, Dirjen Planologi Kemenhut, Bambang Soepijanto, menegaskan bahwa larangan merambah hutan dan kewajiban mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan dari menhut oleh para penambang berlaku umum untuk semua orang. Oleh karena itu sangat konstitusional adanya kewajiban bagi penambang untuk mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan dari menhut dan juga larangan menambang di kawasan hutan tanpa ijin Menhut (www.hukumonline.com, 16 Februari 2011).

Itu sebabnya, dalam Surat No.S.41/Menhut-VII/2009 tanggal 27 Januari 2009 tersebut, Menhut MS Kaban (saat itu) tidak hanya mengingatkan PT SJA mengenai larangan bagi setiap orang untuk mengerjakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan merambah kawasan hutan (Vide Pasal 50 ayat 3). Tetapi menhut juga mengingatkan akibat hukum jika PT SJA melanggar larangan tersebut yaitu ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 5 miliar (Vide Pasal 78 ayat 6).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang berwenang menentukan suatu kawasan sebagai kawasan hutan adalah menteri kehutanan selaku kementerian teknis mewakili pemerintah pusat dengan sebuah proses pengukuhan kawasan hutan demi adanya kepastian hukum bagi masyarakat. Kawasan Hutan Nggalak Rego RTK 103 terbukti telah mendapat pengukuhan dimaksud sehingga eksistensinya tidak dapat diperdebatkan lagi, apalagi hanya karena perdebatan belum adanya perda yang mengukuhkannya sebagai kawasan hutan. Sebab, hal itu tidak disyaratkan dalam UU.

Semua kesimpulan di atas sebenarnya sudah menjadi pengetahuan umum bagi publik di Manggarai dan NTT umumnya, termasuk masyarakat adat di sekitar lokasi tambang PT SJA, sebab ada di antara mereka yang sudah ditangkap, ditahan dan dipenjara karena didakwa merambah kawasan hutan lindung. Namun yang ditunggu publik Manggarai saat ini adalah penegakan hukum yang tegas, tanpa pandang bulu, tanpa pilih kasih, tidak berat sebelah, sebab di hadapan hukum semua orang sama derajatnya (davanti alla lege tutti uguale).

Oleh karena itu aparat penegak hukum tidak boleh hanya bersikap tegas dan garang di hadapan masyarakat kecil di Desa Robek, Kecamatan Reok, tetapi harus bersikap tegas dan garang juga di hadapan Direksi PT SJA dan Bupati Manggarai. Ini tidak berlebihan, jika kita mempunyai cita-cita yang sama bahwa hukum dan keadilan harus dapat membawa kebaikan bagi semua (iustitia est bonum omnibus).  *


Sumber: POS KUPANG

Kamis, 27 Januari 2011

Bupati Manggarai Barat Menghentikan Pertambangan

Jonson Panjaitan (kiri) dan Bupati Manggarai Barat, Drs. Agustinus Ch. Dula
Pemerintah Kab. Manggarai Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur, menghentikan semua pertambangan di wilayah itu demi menjaga lingkungan alam terutama kegiatan pariwisata.

"Kami tidak menolak undang-undang pertambangan, tetapi kami memperhatikan lingkungan hidup dan kedaulatan rakyat", tegas Bupati Manggarai Barat, Agustinus Ch. Dula di Jakarta (27/1). Hal itu disampaikannya pada diskusi publik mengenai persetujuan (veto) rakyat atas wilayah pertambangan sebagai hak konstitusi dan cara menghindarkan kriminalisasi dari usaha pertambangan yang digelar Wahana Lingkungan Hidup (Wahlhi),





"Hal itu disampaikannya dalam diskusi publik mengenai persetujuan (veto) rakyat atas wilayah pertambangan sebagai hak konstitusi dan cara menghindarkan kriminalisasi dari usaha pertambangan yang digelar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), HuMa, PBHI, KPA, Kiara, dan Solidaritas Perempuan.

Menurut Gusti Dula, Manggarai Barat mempunyai potensi wisata yang cukup banyak dengan objek utama Varanus Komodoensis yang sedang dijaring masuk dalam tujuh keajaiban dunia, Taman Nasional Komodo (TNK) dengan biodiversiti terumbu karang yang menduduki peringkat dua dunia. Selain itu ada juga istana ular, Gua Batu Cermin, Danau Sano Nggoang dan obyek wisata lainnya.


Sejak tahun 2008-2010 Pemda Manggarai Barat (baca: Bupati Fidelis Pranda) telah menerbitkan 9 Kuasa Pertambangan / Izin Usaha Pertambangan dan satu IUP Operasi Produksi. Salah satu lokasinya ada di Batu Gosok yang berada kurang lebih 4 km dari pusat kota Labuan Bajo. Di Batu Gosok PT. Grand Nusantara (asal China) sedang melakukan eksplorasi tambang emas.

Masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Anti Tambang (GERAM) melakukan aksi unjuk rasa menentang pertambangan di Kab. Manggarai Barat. Pertambangan yang dilakukan di Batu Gosok justru berpotensi merusak pariwisata karena berbatasan langsung dengan Taman Nasional Komodo (TNK).

"Pada saat musim hujan sekarang ini, air kawasan pantai yang berada di bawah kaki bukit Batu Gosok, terlihat merah karena terkena tanah merah yang dibawah oleh air hujan dari kawasan pertambagan Batu Gosok," tutur Agustinus Ch. Dula. 

Setelah ia menjadi Bupati Manggarai Barat pada 2010, langkah pertama yang ditempuhnya adalah berdiskusi dengan semua pihak, sosialisasi terhadap berbagai kebijakan pertambangan di Manggarai Barat, berdiskusi dengan semua pemegang izin pertambangan yang telah diberikan dan mempelajari berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

"Setelah mendengar berbagai masukan, maka Pemda Manggarai Barat menempuh kebijakan menghentikan berbagai kegiatan pertambangan baik KP/IUP eksplorasi maupun IUP Operasi Produksi," kata Agustinus Ch. Dula. (VD)

Sabtu, 27 November 2010

OBAMA Gampang Lolos di NTT

OBAMA Gampang Lolos di NTT


JAKARTA-- Istilah OBAMA atau Ojek Bawa Mangan kini menjadi populer di Provinsi NTT, khususnya di Pulau Timor. Persoalannya, karena ketatnya upaya pembasmian pengiriman mangan ilegal yang dilakukan para pengusaha pengangkutan membuat mereka menempuh cara dengan membawa mangan menggunakan angkutan sepeda motor atau ojek.

Anggota Komite II DPD RI, Abraham Paul Liyanto mengatakan, ada dugaan, aparat mendapat sesuai dari aktifitas seperti ini sehingga 'OBAMA-OBAMA' ini dengan mudah lolos. Terkait dengan aktifitas ilegal seperti ini, dan untuk menyelesaikan persoalan pertambangan di NTT yang menuai pro dan kontra, perlu dilakukan moratorium pertambangan di NTT.
"Harus ada moratorium dulu, dan kita duduk bersama untuk bicarakan bagaimana baiknya. Kalau pertambangan di NTT ini tidak menjamin keuntungan, dan harus dihentikan, ya kita hentikan, dan harus juga dicari solusi lain untuk memajukan kesejahteraan rakyat," kata Paul dalam jumpa pers di Bakoel Coffie, Jakarta Pusat, Jumat (26/11).

Paul mengatakan, aktifitas pertambangan di NTT belum dijalankan secara baik sesuai konstitusi. "Saya melihat persoalan pertambangan di NTT lebih banyak conflict interestnya. Misalnya ada incumbent yang mau maju pilkada, karena butuh dana banyak, ya dia kasih izin saja, tanpa melihat lagi hak-hak rakyat. Masalah seperti ini harus diselesaikan, ya caranya adalah dengan moratorium," jelas Paul.
Menyinggung pemblokiran area tambang di Sirise, Manggarai Timur, menurut Paul Liyanto, hal tersebut harus menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah harus memberi solusi, jangan membiarkan.
Paul Liyanto menyebutkan, dalam pasal 113 UU No 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral jelas tersirat bahwa jika ada tuntutan dari rakyat yang tidak mendukung pertambangan, pemerintah harus bisa memberikan menjawab."Saya melihat ini ada conflict interest dalam masalah pertambangan di Manggarai," kata Paul.
Senator NTT lainnya, Emanuel Babu Eha juga sependapat dengan Paul Liyanto. Menurutnya, pemblokiran area tambang di Sirise Manggarai Timur hanya bisa diselesaikan jika bupati setempat mengambil sikap tegas.
"Semua tergantung kepada bupatinya, kalau bupatinya melihat itu merugikan rakyat, seharusnya bersikap, bukan diam atau tak memberi solusi. Yang punya rakyat adalah bupati, kalau rakyat menuntut hak mereka, harusnya diperhatikan. Kalau diam, kita bertanya ada apa?" jelas Emanuel Babu Eha.
Direktur JPIC-OFM, Peter C. Aman menyebutkan bahwa penolakan masyarakat Sirise terhadap tambang yang dilakukan PT. Arumbai karena selain menyengsarakan rakyat, dimana banyak lahan masyarakat yang sudah dicaplok, juga karena kegiatan eksplorasi tambang di Sirise tidak membawa rejeki bagi masyarakat.
"70 persen rakyat Sirise tidak tamat SD. Itu artinya bahwa mitos tambang mendatangkan rejeki tidak terbukti di Sirise, justru sebaliknya, tambang itu lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Karena itu, pemerintah harus segera mengambil sikap menghentikan ini sehingga masyarakat tidak dikorbankan," pungkas Peter Aman. (aln)

sumber: www.infoindo.com

Saat Tambang Menjerat Adat

Saat Tambang Menjerat Adat 

27 November 2010


Aksi masyarakat Serise di Borong.



Teu ca ambo neka woleng lako, muku ca pu’u neka woleng curup…


Kalimat bermakna ‘menjaga persatuan dalam cara berpikir, bertutur, dan bertindak’ ini adalah wajah kearifan lokal budaya adat Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang sangat menjunjung tinggi azas kekeluargaan. 

Namun, sejak fase eksploitasi pertambangan mangan dilakukan di tanah ini pada 1997 oleh PT. Arumbai Mangabekti (AMB), budaya konflik perlahan mulai menggerus falsafah hidup rukun tersebut.

“Pertambangan mangan di Manggarai tidak hanya merusak ekosistem, tapi juga telah merusak budaya lokal berupa sistem distribusi hak,” jelas Agustinus Dawarja, praktisi hukum dan aktivis Kelompok Peduli Manggarai, dalam konferensi pers yang digelar oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Institut Hijau Indonesia (IHI), dan Justice, Peace, and Integrity of Creation-Ordo Frantrum Minorum (JPIC-OFM), Jumat (26/11), di Jakarta.

Masyarakat Manggarai mengenal ungkapan ‘gendang one lingkon peang’. Maknanya adalah bahwa pada setiap pemukiman yang terpusat dalam mbaru gendang (rumah gendang), ada tanah-tanah garapan bagi warga kampung yang disebut dengan lingko. Lingko-lingko inilah tanah tanah ulayat yang dibagikan kepada warga kampung sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup.

Dalam membagi tanah-tanah lingko, masyarakat Manggarai menerapkan prinsip “bahi gici arit cingke gici iret, kudu te agil cama laing”, yang berarti ‘membagi  secara adil dan merata demi kesejahteraan bersama’. Sistem pembagian lingko ini dikenal sebagai sistem lodok (titik pusat). Dalam sistem ini, membagi lingko mesti berawal dari teno, sebatang kayu yang diambil dari pohon yang dikenal bernama haju teno di pusat lingko. Dari teno inilah ditarik garis lurus/jari-jari hingga langgang (batas terluar tanah).

“Formasi garis dari sistem lodok ini jika dilihat dari atas akan menyerupai jaring laba-laba,” jelas Agustinus.

Ukuran besaran tanah dalam sistem lodok adalah moso (satu jari tangan) sebagai dasar pembagian awal. Besaran moso tergantung pada berapa banyak jumlah warga yang akan menerima pembagian di lingko tersebut. Makin banyak yang akan menerima, makin kecil ukuran moso. Demikian pula sebaliknya.

Selain itu, besaran moso juga bergantung pada kedudukan orang. Ada istilah moso biasamoso kina (satu setengah jari), dan moso wase (tiga jari). Warga yang dianggap sebagai tu’a golo atau tu’a teno (pemimpin) biasanya mendapat moso wase (tiga jari) yang merupakan ukuran paling besar. (satu jari),

“Setiap warga tidak dapat memperoleh tanah di luar wilayah yang ditentukan ini,” tambah Agustinus.
Warga Manggarai juga masih memeluk falsafah “neka oke kuni agu kalo”. Falsafah ini kurang lebih berarti, ‘jangan melupakan kampung halaman sebagai asal usul’. Inilah alasan utama mengapa masyarakat Manggarai pada umumnya sangat keras mempertahankan lingko miliknya.

Pemilik lingko mestilah warga beo (suku) yang memiliki ikatan genealogis. Merekalah sesungguhnya yang patut disebut sebagai ‘ata ngara tana’, tuan atas tanahnya. Karenanya, orang-perorang secara pribadi, atau bahkan perusahaan, di luar Manggarai sebenarnya  tidak dapat memiliki tanah lingko di Manggarai.

“Pihak luar Manggarai seperti PT. AMB mesti dianggap sebagai warga terlebih dahulu untuk dapat memperoleh hak atas tanah tersebut. Izin tersebut juga mesti atas persetujuan seluruh warga dengan syarat bahwa pengelolaan tanah tersebut akan memberi manfaat bagi masyarakat-masyarakat lain. Namun, bukannya memberi manfaat, industri tambang yang ada di Manggarai justru menyebar konflik dan benih ketakutan akan kerusakan alam mereka yang membuat resah masyarakat.” tutur Agustinus.



Image caption
Kala kali pertama perusahaan tambang anggom le anggom lau”, yang berarti ‘ambil sana-sini’. akan beroperasi, ada janji-janji yang diumbar agar perusahaan mendapatkan izin lahan di Manggarai. Namun pada kenyataannya, setelah izin dikeluarkan oleh pemerintah daerah, janji tersebut tak kunjung berbukti. Kini merebak konflik pertanahan secara terbuka karena perilaku “
“Yang mengeksplorasi siapa, yang memberi janji siapa, yang menambang siapa, yang memberi izin siapa, yang mendapat dampak siapa, semua adalah pihak-pihak yang berbeda. Tidak ada kesinambungan informasi. Ada oknum yang bertanggungjawab dalam peralihan-peralihan tersebut. Inilah yang mesti ditelusuri,” ujar Peter C. Aman, Direktur Justice, Peace, and Integrity of Creation-Ordo Frantrum Minorum (JPIC-OFM).

Hal-hal semacam inilah yang memicu konflik-konflik tanah di Manggarai. Jadi, bagaimana sesungguhnya upaya terbaik dalam menyelesaikan konflik-konflik pertanahan di Manggarai?

Lemahnya lembaga-lembaga penegakan hukum di tanah air yang cenderung menunjukkan bahwa keadilan bisa diperjual-belikan, melekat erat dalam benak masyarakat. Di pengadilan, konflik justru menjadi semakin pelik (lihat Emas di Taman Nasional, Siapa Punya?).

“Undang-Undang Agraria dibangun berdasarkan basis hak ulayat. Sertifikat tanah adalah hak lanjutan dari hak ulayat, hak adat. Inilah jiwa dari seluruh konsep tanah yang semestinya diperhatikan betul oleh negara. Kini terbukti, perusahaan adalah kumpulan modal telah menindas masyarakat yang terdiri dari kumpulan orang. Padahal, proklamasi kemerdekaan kita memerdekakan hak kemanusiaan dan hak hidup, bukan hak perusahaan atau hak berkeuntungan. Karenanya, negara mesti berubah; berpihak pada people rights, bukan company rights,” tegas Agustinus.

Akhirnya, mesti diakui bahwa banyak kasus konflik menjadi konflik terbuka di Manggarai justru karena melangkahi penyelesaian-penyelesaian secara adat (lihat Negara dan Masyarakat Adat Tidak Harmonis). Karenanya, konflik-konflik tanah ini perlu mengalami reposisi, dikembalikan kepada pemimpin beo seperti tu’a golo, atau tu’a teno. Lembaga inilah yang semestinya menjadi instansi pertama dalam mengatur dan membagi lingko-lingko sesuai dengan aturan adat Manggarai. Dari sinilah baru kemudian nanti dapat dirunut, pada titik mana benang kusut itu mesti diusut dan diputus. (Ken Miryam Vivekananda Fadlil)
VN:F [1.9.6_1107]


Selasa, 19 Oktober 2010

Warga Robek Yang Terlibat Dalam Kasus Illegal Loging Dibebaskan

PT Sumber Jaya Asia yang merusak hutan lindung 
belum tersentuh hukum. Kapan?






Ki-ka: Eduardus Saferudin, Silvester Tarong, Rofinus Roas, Oktavianus Diadon, Yohanes Roga, Fransiskus Imba, Aventus Nau dan Eduardus Japa.


Tiga dari tujuh warga Robek, Kec Reok, Kab Manggarai yang tersangkut kasus illegal loging di hutan lindung RTK 103 Nggalak-Rego dibebaskan dari rumah tahanan Labe-Ruteng (18/10) kurang lebih pukul 09.00 WITA. Ketiganya adalah Yohanes Roga, Frans Imba dan Oktovianus Diadon. Selain ketiganya, Yuvens, asal Golowelu juga ikut dibebaskan. Sebelum kembali ke kampungnya masing-masing mereka sempat datang ke biara OFM di Karot. Mereka diterima dengan hangat oleh koordinator JPIC Keuskupan Ruteng, Rm Charles Suwendi, Pr, koordinator JPIC OFM Flores, P. Mateus Batubara OFM dan Staff JPIC OFM, Emil Sarwandi.

Keempatnya bercerita bahwa mereka bebas lebih cewat dari waktu yang ditentukan. “Kami mendapat pengurangan masa tahanan dalam rangka HUT Kemerdekaan RI 2010,” kata Oktavianus. Raut wajah mereka kelihatan gembira. Nampak jelas dari sorot mata mereka kerinduan terdalam untuk bertemu dan berkumpul kembali dengan keluarga masing-masing.

Mereka juga menuturkan kalau peristiwa yang menimpa mereka mengingatkan rasa luka mereka akan mahalnya sebuah rasa keadilan. Tindakan mereka mengambil kayu untuk pembangunan sekolah SMP di Robek harus dibayar dengan mendekam beberapa bulan di penjara. Polisi, Jaksa dan Hakim secara tegas memvonis mereka sebagai pelaku tindak pidana kehutanan di lokasi hutan lindung Nggalak Rego RTK 103.

Ironisnya pihak perusahaan tambang mangan PT Sumber Jaya Asia (SJA) yang sudah menghancurkan hutan lindung yang sama secara telanjang tidak mendapat perlakuan hukum apapun. Justru sebaliknya Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang dan Pengadilan Tinggi Surabaya memenangkan gugatan mereka dan menyatakan bahwa lokasi pertambangan PT SJA bukanlah hutan lindung karena belum ada PERDA yang menetapkannya sebagai hutan lindung.

Tentu kita patut memberi penghargaan kepada pihak Polres Ruteng yang jeli melihat kasus penambangan yang dilakukan PT SJA ini dengan menutup lokasi penambangan di hutan lindung yang bersangkutan (28/03). Polres Ruteng bahkan sudah menetapkan beberapa tersangka, tetapi sayangnya sampai saat ini belum diproses. Kita berharap pihak kepolisian Manggarai dapat bertindak adil dalam menerapkan hukum di negara ini.

Matius Batubara OFM

Minggu, 11 Juli 2010

Para Tokoh Agama NTT Peduli Pada EKOSOB



Para tokoh agama melakukan ibadat di lokasi tambang PT Sumber Jaya Asia di Torong Besi, Reok, Kab. Manggarai, Flores, NTT

Ruteng,- Para tokoh agama yang berjumlah 31 orang dari latar belakang agama yang berbeda di NTT mengikuti pelatihan hak ekonomi, sosial dan budaya di Ruteng, Kabupaten Manggarai. Kegiatan pelatihan berlangsung dari tanggal 5 sampai dengan 10 Juli 2010. Pemberi materi adalah Direktur Institute for Ecosoc Rights, Ibu Sri Palupi. Khusus dalam bidang pertambangan materi disajikan oleh Bang Chalid Muhamad. Lewat pelatihan ini para tokoh agama diajak untuk lebih peka akan soal-soal seputar hak ekonomi, sosial dan budaya yang ada dalam pergumulan sehari-hari. Hal yang menarik selama pelatihan ini adalah adanya satu dialog teologi di antara para tokoh agama yang hadir. Ada satu titik temu yang membawa para tokoh agama untuk mampu ke luar dari ruang-ruang yang hanya menempatkan agama sebatas peribadatan.

Ketika Pertambangan menjadi isu krusial untuk Nusa Tenggara Timur, para tokoh agama sepakat untuk melahirkan satu pernyataan sikap yang diberi judul “Pohon untuk kehidupan, bukan tambang”. Pernyataan sikap ini disampaikan sebagai wujud keprihatinan terhadap penderitaan dan ancaman keselamatan warga NTT akibat kegiatan pertambangan. Beberapa keprihatinan yang terekam dari realita pertambangan yang ada di Nusa Tenggara Timur adalah

Pertama, Meningkatnya keterlibatan anak usia sekolah dalam penggalian mangan yang berdampak pada tingginya angka putus sekolah dan resiko kematian dini pada anak-anak.

Kedua, Munculnya fenomena perbudakan akibat jeratan hutang pada masyarakat di lingkar tambang. Pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan tambang meminjamkan sejumlah uang secara terus menerus sampai pemilik tanah tidak mampu membayar sehingga merelakan tanahnya diambil untuk kegiatan pertambangan. Pemilik tanah selanjutnya menjadi buruh tambang sementara warga yang tidak memiliki tanah mendapatkan kemudahan untuk berhutang (uang dan barang) asalkan mereka menjadi pekerja tambang.

Ketiga, Munculnya ketegangan sosial dengan kehadiran dan keterlibatan aparat keamanan (polisi dan militer) dan Pol PP

Keempat, Maraknya perjudian dan prostitusi di wilayah lingkar tambang.

Kelima, Ancaman krisis pangan dan kelaparan akibat meningkatnya alih fungsi lahan produktif dan ditinggalkannya kerja-kerja bertani, berkebun, beternak dan menangkap ikan/ melaut.

Keenam, masyarakat didorong untuk menjadi pelaku perusak lingkungan dengan adanya pertambangan rakyat. Dalam system pertambangan ini, korporasi mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan melepas tanggung jawab terhadap pemenuhan hak para penggali tambang dan tanggung jawab atas kerusakan lingkungan.

Ketujuh, diabaikannya hak atas informasi tentang bahaya bahan galian tambang, ini terlihat dari beberapa fenomena berikut : warga meminum air yang keluar dari bekas galian tambang, warga mencicipi bahan galian tambang untuk mengetes rasa bahan tambang, warga makan setelah menggali tanpa mencuci tangan terlebih dahulu bahkan ada warga yang menaruh batu mangan ke dalam sumur untuk mengurangi rasa asin air sumur.

Kedelapan, hilangnya investasi bernilai milyaran rupiah dalam bentuk infrastruktur jalan yang rusak akibar dilalui kendaraan berat yang memuat hasil tambang

Kesembilan, diabaikannya kepentingan generasi yang akan datang yang juga memiliki hak atas bumi, air, udara dan kekayaan alam serta kehidupan yang lebih baik.

Puncak dari seluruh pelatihan para tokoh agama ini adalah kunjungan ke lokasi tambang pada tanggal 10 Juli 2010 di Torong Besi, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai dan di Serise, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur. Kunjungan ke lokasi tambang Torong Besi diisi dengan ibadat bersama yang dipimpin oleh Pendeta Loth Ba’un, S.Th dari gereja GMIT/ TTS. Dalam renungan singkatnya Pendeta Loth mengungkapkan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh PT Sumber Jaya Asia di lokasi hutan lindungan menggambarkan “hati Allah yang tercabik-cabik”. Ada peristiwa menarik yaitu ketika ibadat ditutup dengan doa penutup muncul teriakan beberapa monyet dari kejauhan yang saling sahut-menyahut. Rupanya doa para tokoh agama disambut gembira para saudara monyet yang merasa gembira karena hutan yang adalah habitatnya ternyata masih diperhatikan. Setelah ibadat kegiatan dilanjutkan dengan penanaman beberapa batang pohon sebagai pohon kehidupan. Kegiatan penanaman pohon kehidupan di bekas lokasi tambang PT Sumber Jaya Asia adalah bentuk perlawanan terhadap semua kegiatan pertambangan yang merusak lingkungan di Nusa Tenggara Timur. Setelah penanaman pohon kehidupan di Torong Besi para tokoh agama bergerak menuju Serise. Kegiatan di Serise lebih merupakan suatu penguatan bagi seluruh warga Serise untuk tetap kuat dan kompak dalam menghalau perusahaan tambang.*** (Mateus Batubara, OFM)

Senin, 05 Juli 2010

Masyarakat Nangawarawa Menolak Hadirnya Pertambangan


Beberapa ibu sedang menanam pohon di Pantai Nangarawa. Bentuk perlawanan terhadap arogansi industri pertambangan

Borong,-Nangarawa adalah kampung kecil di wilayah pantai selatan Kabupaten Manggarai Timur yang secara administratif termasuk wilayah Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba. Ketika isu pertambangan menjadi buah bibir di seantero pulau flores, masyarakat Nangarawa juga mulai angkat bicara. Isu pertambangan mulai dibicarakan dari rumah ke rumah sekitar tahun 2007 yang lalu ketika hadirnya beberapa orang asing seperti dari China, Thailand dan Jepang di Nangarawa untuk melakukan penelitian di sekitar bibir pantai Nangarawa. Masyarakat Nangarawa sendiri belum pernah memberi izin atas ruang-ruang kehidupannya untuk diteliti oleh siapapun. Namun, berdasarkan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Kabupaten Manggarai Tahun 2005 – 2010 bagian pertambangan terungkap dengan jelas bahwa Pemerintah sudah memberikan Kuasa Pertambangan Pasir Besi di Nangarawa dan Tanjung Bendera, Kecamatan Kota Komba kepada PT Tribina Sempurna seluas 1.484 ha. Perusahaan inilah yang juga turut andil dalam proses kehancuran hutan lindung Torong Besi di Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai. Ketika warga lingkar tambang di sekitar hutan Torong Besi menggugat perusahaan itu sebagai turut tergugat dalam gugatan perwakilan kelompok di Pengadilan Negeri Ruteng tak satu kalipun perusahaan ini hadir di persidangan.

Masyarakat Nangarawa juga mengakui bahwa sekitar tahun 2008 Pemda Manggarai Timur yang kala itu masih dipimpin oleh Bpk. Frans B. Padju Leok sebagai Penjabat Manggarai Timur pernah datang ke kampung Nangarawa melalui jalur laut untuk mensosialiasikan adanya rencana kegiatan pertambangan pasir besi. Menurut kesaksian warga, kehadiran Pemda Manggarai Timur kala itu bukan untuk sosialisasi melainkan untuk menegaskan sikap Pemerintah Daerah kepada warga Nangarawa bahwa Pemerintah sudah menandatangani MOU dengan para investor pertambangan di Jakarta untuk menerima kegiatan pertambangan di Nangarawa. Oleh karena itu, masyarakat harus menerima segala bentuk kegiatan pertambangan. Hal yang lebih menyedihkan adalah bahwa Pemerintah juga mengatakan adanya rencana relokasi seluruh warga Nangarawa ke tempat yang baru.

Kecemasan warga akan keberlangsungan hidupnya di tanah Nangarawa menjadi kecemasan Gereja Keuskupan Ruteng. Ketua Dewan Stasi Nangarawa, Bapak Agustinus Mbadu dan Pastor Paroki Kisol, Rm. Mansu Pr berinisiatif melakukan penguatan bagi seluruh warga Nangarawa baik yang beragama Katolik maupun Islam. Penguatan itu dilakukan di Gereja Stasi Nangarawa sekitar tahun 2008 yang lalu bersama dengan Vikep Borong, Rm. Beny Jaya Pr. Kala itu semua warga sepakat untuk menolak segala bentuk kegiatan pertambangan.

Masyarakat Nangarawa menyatakan sikap penolakan terhadap semua bentuk kegiatan pertambangan dalam surat penolakannya tertanggal 30 Mei 2010 yang ditujukan kepada Bupati Manggarai Timur di Borong. Surat penolakan tersebut ditandatangani oleh Bapak Agustinus Mbadu selaku Koordinator Musyawarah Masyarakat Tolak Tambang bersama dengan 95 warga lainnya.

Meskipun sikap penolakan warga terhadap kegiatan pertambangan telah muncul namun upaya untuk mengkeruk ruang-ruang kehidupan warga Nangarawa tetap berjalan. Hal ini ditandai dengan munculnya Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Manggarai Timur 2008-2027. Ranperda RTRW itu secara telanjang dan tanpa malu-malu menampilkan satu pasal represif yang berbunyi “Rencana pengembangan kawasan pertambangan ini adalah Eksploitasi bahan galian C di Kampung Nangarawa, Desa Bamo dan Wae Rua, Desa Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba.” (Paragraf 3 “Kawasan Pertambangan”, Pasal 26 RTRW Kabupaten Manggarai Timur).

Menyikapi Ranperda RTRW itu, Tim JPIC OFM Flores: Koordinator JPIC OFM Flores, Pater Mateus Batubara OFM, Emil Sarwandi SH dan Marianus Kisman dan Ketua Dewan Stasi Nangarawa, Bapak Agustinus Mbadu kembali melakukan penguatan bagi masyarakat Nangarawa. Kegiatan penguatan berlangsung dua tahap yaitu pada 10 dan 15 Juni 2010. Masyarakat Nangarawa disuguhkan beberapa fakta-fakta real tentang kerusakan dan manipulasi yang sering terjadi dalam industri pertambangan di bumi Manggarai yang hanya membawa kesengsaraan bagi masyarakat setempat dan kehancuran lingkungan yang permanen. Hal ini sudah nyata terjadi dalam kasus pertambangan PT Sumber Jaya Asia di kawasan Hutan Lindung Torong Besi di Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai dan kasus pertambangan PT Arumbai Mangabekti di kampung Serise, Kecamatan Lambaleda Kabupaten Manggarai Timur.

Puncak dari kegiatan penguatan adalah dilakukannya upacara adat yang diikuti itu seluruh warga Nangarawa Desa Bamo (4/7) di pantai Nangarawa persis di depan mesjid. Mereka melakukan acara ritual adat kepada leluhur yang dalam bahasa daerah Rongga dikenal dengan sebutan “Tunu Manuk”. Acara ritual adat itu dipimpin langsung oleh Tua Adat Suku Lowa, Bapak Donatus Jamu. Lewat ritual adat itu warga Nangarawa memohon kepada leluhurnya agar turut serta mendukung langkah mereka untuk menolak tambang. Puncak dari kegiatan tolak tambang diungkapkan dalam Perayaan Ekaristi di tempat yang sama. Perayaaan ekaristi dipimpin oleh Ketua JPIC Keuskupan Ruteng, Rm. Charles Pr dan Koordinator JPIC OFM Flores, Pater Mateus Batubara OFM.

Yang menarik dari acara ritual adat dan perayaan Ekaristi adalah semua warga Nangarawa yang beragama muslim turut serta dalam perayaan ekaristi. Ketua JPIC Keuskupan Ruteng, Rm. Charles Pr mengatakan bahwa lewat perayaan yang menyelamatkan ini sudah menjadi nyata apa yang menjadi motto tahbisan Uskup Ruteng, Mgr Hubertus Leteng, “OMNES VOS FRATRES ESTIS” (KAMU SEMUA ADALAH SAUDARA). Agama dan keyakinan tidak menjadi sekat bagi manusia untuk bersaudara.

Sementara Koordinator JPIC OFM Flores, Pater Mateus Batubara OFM dalam homilinya mengajak umat untuk tampil seperti hamba Tuhan, Nabot yang tetap mempertahankan kepemilikan kebun anggurnya (1 Raja-Raja 21:1–10). Nabot tidak pernah tergoda oleh tawaran Raja Ahab sebagai penguasa kala itu untuk menukar tanah warisan leluhurnya dengan uang. Karena itu Pater Mateus mengajak semua masyarakat Nangarawa untuk tampil seperti Nabot ketika berhadapan dengan bujukan dan rayuan penguasa dan pengusaha pertambangan.

Sesudah perayaan ekaristi, kegiatan penolakan tambang dilanjutkan dengan tindakan konkrit yaitu menanam lima ratus batang pohon di sepanjang areal sempadan pantai Nangarawa. Jenis pohon yang ditanam adalah pohon waru, mangrove dan beringin. Kegiatan penanaman ini diawali penanam pohon secara simbolis dilakukan di tempat perayaan ekaristi oleh Rm. Charles Pr, Pater Mateus Batubara OFM, Ibu Carolina dan Suster Cristin Pasaribu KSSY. Setelah itu serentak semua masyarakat Nangarawa, dipandu oleh kelompok PANDAWA (Persatuan Anak Muda Nangarawa) menanam pohon sepanjang areal pantai. Menurut ketua Pandawa, Bapak Vincentius John kegiatan penanaman lima ratus pohon di areal sempadan pantai Nangarawa adalah satu bentuk tandingan terhadap rencana kegiatan pertambangan. “Kami selalu bersahabat dengan laut. Kami tidak ingin kegiatan pertambangan membuat laut marah pada kami sehingga terjadi abrasi laut nantinya. Kami ingin menjadikan kawasan Pantai Nangarawa sebagai kawasan Wisata dan Budaya bukan kawasan Keruk” ungkap Hendrikus Sadi. Lewat kegiatan ini kita berharap agar Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur semakin terbuka atas suara masyarakat yang mengajukan konsep tata ruang wilayahnya sendiri.***Valens/Mateus Batubara, OFM

Selasa, 15 Juni 2010

Musyawarah Umat Katolik Pantura, Keuskupan Ruteng


P Matius Batubara, OFM sedang memberikan materi kepada para peserta MUKPAR

Ruteng,-Kevikepan Borong, Keuskupan Ruteng mengadakan Musyawarah Umat Katolik Pantai Utara (MUKPAR) (10-13/06/2010) di Dampek, Reok. Peserta musyawarah adalah para imam dan orang-orang beriman Kristiani yang terpilih dari paroki, dengan unsur-unsur yang mewakili guru, tokoh-tokoh adat, pemerintahan, pelayan-pelayan khusus Gereja, orang muda, , petani-petani, pedagang dan politisiKatolik. Paroki-paroki yang termasuk dalam wilyah Pantura yaitu Paroki Dampek, Paroki Benteng Jawa, Paroki Weleng dan Paroki Pota. Jumlah seluruh peserta yang hadir adalah 250 orang. MUKPAR dibuka dengan Misa yang dipimpin oleh Vikep Borong, Rm. Benny Jaya, Pr, dan ditutup juga dalam Misa yang dipimpin oleh Uskup Ruteng, Mgr. Hubertus Leteng, Pr.

Kegiatan MUKPAR ini merupakan bagian dari keprihatinan Gereja Keuskupan Ruteng akan isu-isu krusial yang harus segera ditanggapi antara lain masalah kemiskinan, perubahan iklim, masalah ekologis dan kehutanan, masalah lemahnya pengetahuan agama pada umat Kevikepan Borong umumnya termasuk wilayah Pantura, masalah politik, hubungan dengan agama lain, masih rendahnya sumber daya manusia, masalah pertambangan yang kian menggerogoti bumi Manggarai dan motto atau visi Uskup Ruteng, Mgr. Hubertus Leteng, Pr yang butuh ditanggapi dan diwujudkan secara bersama oleh umat Keuskupan Ruteng.


Semua isu krusial tadi dibahas secara menarik oleh beberapa pembicara, yakni Rm. Manfred Habur, Pr, P. Mateus Leonardus Batubara OFM, Rm. Simon Nama, Pr, Wakil Bupati Manggarai Timur, Andreas Agas, Rm. Kanis Ali, Pr dan Bupati Manggarai Timur, Yoseph Tote.

Secara khusus dalam bidang ekologi, P. Mateus Leonardus Batubara OFM memaparkan realitas sesungguhnya di bidang pertambangan yang ada di wilayah Pantura tepatnya di kampung Serise dan Lengko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur. Realita itu menunjukkan betapa lebarnya jurang antara impian kesejahteraan masyarakat dengan fakta penderitaan masyarakat dan kehancuran lingkungan secara permanen. Kegiatan pertambangan pertama kali masuk di kawasan Pantura pada 1981 oleh PT Aneka Tambang dengan bentuk kegiatan Ekplorasi dan Ekploitasi tepatnya di Lengko Lolok Desa Satar Punda Kecamatan Lambaleda. Kegiatan itu dialihkan kepada PT Istindo Mitra Perdana dan PT Arumbai pada tahun 1997. Kemudian pada tahun 2004 perusahaan itu mulai memperluas wilayah pertambangan di wilayah Serise, Desa Satar Punda Kecamatan Lambaleda. Sejak tahun 2008 Ijin Kuasa Pertambangan (KP) bahan galian golongan B di wilayah Pantura mulai bermunculan seperti jamur di musim hujan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Pertambangan Manggarai Timur ada 14 Kuasa Pertambangan (KP) di wilayah Pantura. Munculnya belasan kuasa pertambangan di wilayah Pantura sesungguhnya merupakan indikator adanya agenda terselubung penghancuran ruang - hidup rakyat. Mengapa ? Hal ini dikarenakan :
  1. Belum ada bukti bahwa kegiatan pertambangan yang dilakukan PT Arumbai ramah terhadap lingkungan, tapi justru merusak lingkungan hidup. Hal ini terlihat dari adanya lubang-lubang besar yang menganga di sepanjang pantai utara.
  2. Belum terbukti bahwa kehadiran PT Arumbai mensejahterakan penduduk Serise, tetapi terbukti justru menyengsarakan mereka. Fakta lapangan menunjukkan bahwa dari 152 anak yang ada di Serise: ada 66 anak belum usia sekolah dan 86 anak masuk usia sekolah. Dari 86 anak usia sekolah hanya 50 anak yang masih mengecap pendidikan sementara 36 anak kini tergolong anak putus sekolah. (Data JPIC OFM, 2010)
  3. Tidak terbukti bahwa perusahaan tambang PT Arumbai menepati janji-janji manisnya untuk mensejahterakan masyarakat lokal tetapi terbukti justru mengingkarinya.

Melihat realitas kehancuran ekologis akibat pertambangan dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh industri pertambangan, saatnya bagi Umat Katolik Pantura (diwakili oleh MUKPAR) untuk berani mengajukan Satu Konsep Tata Ruang Tandingan Wilayah Pantura kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur. Konsep Tata Ruang itu harus berdasar rasionalitas publik, akar budaya dan sosial masyarakat setempat. Tata Ruang Wilayah Pantura bukanlah untuk pertambangan yang menghancurkan itu melainkan untuk pembangunan yang berkelanjutan dan keberlangsungan hidup manusia dan lingkungan alam di wilayah Pantura, Manggarai Timur.*** (Valens-Matius Batubara)