Perjalanan hidup manusia di dunia selalu diliputi dengan sejumlah rentetan peristiwa. Ada peristiwa yang menyenangkan dan bahkan ada pula peristiwa yang menyedihkan. Hal ini bisa kita lihat sendiri dalam pengalaman hidup harian kita masing-masing. Pertanyaan bagi kita ialah bagaimana kita menyikapi peristiwa semacam itu. Apakah kita hanya akan diam sambil menikmati saja peristiwa-peristiwa itu? Ataukah kita harus berusaha untuk mengolah setiap peristiwa itu dengan baik sehingga dapat dijadikan sejarah untuk mengisi perjalanan hidup di dunia ini?
Hidup adalah sebuah perjuangan. Musisi Padi dalam lagunya yang berjudul Harmoni, mengatakan bahwa manusia itu terlahir bagaikan selembar kertas putih, kertas itu akan kotor apabila dilukis dengan sebuah tinta. Begitu pula dengan hidup kita di dunia. Hidup itu akan bermakna apabila diisi dengan sejumlah pengalaman. Setiap insan manusia di dunia ini menjalani hidupnya dengan penuh perjuangan. Bagaimana ia harus berjuang agar ia tetap eksis di dunia dengan begitu banyak cara. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa hidup itu dengan sendirinya akan pergi dari kita juga dan menuju Sang empunya Hidup itu sendiri yakni Allah itu sendiri. Dalam judul lagunya ‘Terluka’ di sini ia menegaskan lagi bahwa meskipun toh manusia itu akan binasa, tetapi jangan pernah menyalahkan hidup, manusia hanya dituntut untuk mempersiapkan hati dan jiwa untuk menyosong saudari maut.
Selain musisi Padi, salah satu musisi Indonesia yang bernama Jikustik, dalam lagunya yang berjudul ‘Putri’ mengatakan bahwa “mungkin dengan perpisahan kita kan mengerti arti pertemuan”. Banyak orang sungguh sangat merasakan dan bahkan mengalami sendiri efek dari sebuah perpisahan. Apalagi berpisah untuk selamanya dan pergi menghadap Bapa. Dengan adanya perpisahan, orang yang pergi akan selalu dikenang oleh mereka yang ditinggali. Hal semacam inilah yang dialami oleh saudara-saudari kita yang saat ini sedang berada di Rumah Singgah ketika mereka ditinggalkan oleh saudari atau Oma Aurora. Beberapa di antara mereka sungguh merasa sedih karena kehilangan Oma yang satu ini. Namun, mereka juga sadar bahwa inilah jalan terbaik dari Tuhan yang ingin memanggil Oma Aurora untuk bersatu dengan-Nya di Surga.
Oma Aurora lahir di Purwokerto pada 23 Agustus 1932. beliau menjadi penghuni Rumah Singgah pada 18 Februari 2009 yang dibawa oleh anak tirinya yang bernama Anya, dengan keterangan bahwa beliau menderita penyakit asma dan tidak punya tempat tinggal. Apa yang dibawa oleh oma ini pada waktu pergi ke Rumah Singgah, hanyalah sebuah Patung Bunda Maria, Kitab Suci, Rosario dan buku kumpulan doa-doa. Banyak waktu yang ia habiskan di Rumah Singgah dengan berdoa dan merenungkan Sabda Allah. Berdoa dan membaca Kitab Suci telah menjadi bagian dari hidupnya. Semangatnya begitu membara untuk selalu mendekatkan diri pada Tuhan. Semangat itu juga yang setidaknya membakar hati para saudara muda yang bertugas di sana untuk tetap mendekatkan diri pada Allah. Mereka merasa bahwa secara tidak langsung mereka ditegur untuk tetap berdoa dan membacakan Firman Allah tidak hanya pada waktu kuliah.
Sebelum menghadap Sang Bapa pada 29 November 2009, oma Aurora sempat dirawat di Rumah Sakit Sint Carolus. Dari berbagai pihak keluarga yang coba diubungi oleh pihak Rumah Singgah, mereka mengatakan bahwa “Sudah tidak ada hubungan keluarga dengan Oma Aurora” dengan kata lain bahwa mereka sudah tidak mengenal dia lagi. Ibu Selvy, kakak kandung dari Oma Aurora, ketika dihubungi oleh Sdr. Thomas Alves, dia mengatakan bahwa sudah saatnya oma Aurora mau mati, tidak usah di bawa ke Rumah Sakit. Mereka sungguh menolak Oma Aurora untuk di rawat di Rumah Sakit. Mereka tidak menghendaki ia hidup lama-lama di dunia ini. Sungguh menyakitkan ketika dikatakan bahwa ia sudah layaknya untuk mati. Mengapa?
Sebelum di bawa ke Carolus, saya sempat menelpon Pdt. Bernard, untuk minta persetujuan, apakah oma Aurora bisa di rawat ke Carolus? Pendeta mengatakan bahwa dia sama sekali tidak mengenal oma ini. Pendeta hanya menyuruh saya untuk menghubungi Anya (anak tiri Oma), tetapi apa yang terjadi? Anya menyuruh saya untuk menghubungi pendeta. Situasi makin rumit. Pihak keluarga saling melempar tanggung jawab. Tidak ada yang mau mengakui masih punya hubungan keluarga dengan oma ini.
Pada 28 November 2009, saya sendiri berinisiatif mencari alamat Gereja pendeta. Bersam dengan pak Herman dan Sdr. Silva, kami bertiga menuju ke Gereja pendeta Bernard yang letaknya di Kramat Pulo. Sesampai di sana, kami menyampaikan maksud tujuan kami bahwa, ingin menginformasikan kepada pendeta sebagai pihak keluarga dari oma Aurora bahwa oma ini sekarang dalam keadaan kritis dan mau tidak mau kita harus membawanya ke Rumah sakit, dan kami minta agar semua biaya perawatan ditanggung bersama-sama. Tapi, apa yang terjadi? Pendeta tetap ngotot dan menolak. Dia mengatakan bahwa Oma Aurora ini bukan siapa-siapanya dia, tetapi kalau kita telusuri dengan baik, istri dari Pendeta ini adalah adik kandung dari Oma Aurora sendiri. Tetapi mengapa mereka masih tetap ngotot dan menolak oma ini?
Pendeta juga mengatakan bahwa” sebagai hamba Tuhan, dia tidak punya apa-apa, apalagi uang yang sebegitu besar untuk menanggung biaya perawatan oma ini? Sempat terjadi perang mulut antara saya dengan pak Herman, dengan pendeta Bernard. Situasi makin lama makin panas, sampai pak Herman banting-banting pintu. Pendetanya tetap diam, dan mengatakan tidak punya uang. Saya sendiri, waktu itu juga sempat panas dan marah sampai melontarkan kata-kata yang kurang sopan “ baik…baik… kalau pak Pendeta tetap ngotot bahwa tidak punya hubungan keluarga sama oma ini, bapak harus ingat… kalau suatu saat oma ini dipanggil oleh Tuhan, bapak jangan menginjakkan kaki di Rumah Singgah dan mengaku bahwa masih ada hubungan kelurga dengan oma ini… kalau terjadi demikian, saya sendiri yang akan mengusir bapak dengan istri bapak dari Rumah Singgah… harap bapak pegang kata-kata saya… saya tidak main-main…ok.
Begitulah situasi yang sempat terjadi di kamar kerjanya bapak pendeta. Akhirnya, kami pulang dan langsung mengantarkan oma ini ke Carolus..
Pada 29 November 2009 pukul 11:45 WIB, ia menghembuskan napasnya yang terakhir di Carolus. Banyak sanak saudara dan keluarga yang datang, kecuali pak pendeta dengan istrinya. Beberapa Saudara Muda mengatakan bahwa, sempat ada beberapa keluarga yang mengeluh karena tidak tahu bahwa oma ini sakit dan tinggal di Rumah Singgah. Saya bilang sama mereka, jangan terlalu banyak mengeluh, lebih mari kita bersama-sama mendoakan beliau semoga arwahnya di terima di sisi kanan Bapa di Surga.
Oma Aurora disemayamkan di Rumah Singgah. Malam harinya diadakan misa Requiem bersama dengan keluarga dan kenalan. Misa dipersembahkan oleh Sdr. Peter Aman, OFM. Dalam khotbahnya, Sdr.Peter menegaskan bahwa: menjadi Kristen berarti mengikuti Yesus Kristus. Yesus merupakan pokok anggur dan jalan kebenaran dan hidup. Kematian dan kebangkitan Kristus memberi harapan bagi kita bahwa kita yang telah dibaptis untuk mengikuti Dia juga akan hidup kembali dan bersatu dengan Dia di Surga. Setelah misa, ada beberapa Saudara Muda yang tetap setia untuk menemani Oma Aurora hingga pagi.
Pagi harinya diadakan misa tutup peti yang dipersembahakan oleh Sdr. Jordan, OFM. Setelah misa jenasah dibawa ke Tempat Pemakaman Umum Pondok Rangon untuk dimakamkan.
Dengan kepergian saudari kita ini, jumlah anggota keluarga dalam Rumah Singgah menjadi berkurang. Mereka yang saat ini masih berada di sana sangat merasa sedih, dan bahkan ada yang mengatakan: kapan saya ikut dan bergabung dengan mereka ke Pondok Rangon?
Akhirnya, mari kita bersama mendoakan mereka yang telah pergi mendahulu kita juga sekaligus mendoakan para saudara-saudari kita yang masih ada di Rumah singgah, sehingga mereka cepat sembuh dan tidak larut dalam kesedihan yang mendalam. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar