Beberapa ibu sedang menanam pohon di Pantai Nangarawa. Bentuk perlawanan terhadap arogansi industri pertambangan
Masyarakat Nangarawa juga mengakui bahwa sekitar tahun 2008 Pemda Manggarai Timur yang kala itu masih dipimpin oleh Bpk. Frans B. Padju Leok sebagai Penjabat Manggarai Timur pernah datang ke kampung Nangarawa melalui jalur laut untuk mensosialiasikan adanya rencana kegiatan pertambangan pasir besi. Menurut kesaksian warga, kehadiran Pemda Manggarai Timur kala itu bukan untuk sosialisasi melainkan untuk menegaskan sikap Pemerintah Daerah kepada warga Nangarawa bahwa Pemerintah sudah menandatangani MOU dengan para investor pertambangan di Jakarta untuk menerima kegiatan pertambangan di Nangarawa. Oleh karena itu, masyarakat harus menerima segala bentuk kegiatan pertambangan. Hal yang lebih menyedihkan adalah bahwa Pemerintah juga mengatakan adanya rencana relokasi seluruh warga Nangarawa ke tempat yang baru.
Kecemasan warga akan keberlangsungan hidupnya di tanah Nangarawa menjadi kecemasan Gereja Keuskupan Ruteng. Ketua Dewan Stasi Nangarawa, Bapak Agustinus Mbadu dan Pastor Paroki Kisol, Rm. Mansu Pr berinisiatif melakukan penguatan bagi seluruh warga Nangarawa baik yang beragama Katolik maupun Islam. Penguatan itu dilakukan di Gereja Stasi Nangarawa sekitar tahun 2008 yang lalu bersama dengan Vikep Borong, Rm. Beny Jaya Pr. Kala itu semua warga sepakat untuk menolak segala bentuk kegiatan pertambangan.
Masyarakat Nangarawa menyatakan sikap penolakan terhadap semua bentuk kegiatan pertambangan dalam surat penolakannya tertanggal 30 Mei 2010 yang ditujukan kepada Bupati Manggarai Timur di Borong. Surat penolakan tersebut ditandatangani oleh Bapak Agustinus Mbadu selaku Koordinator Musyawarah Masyarakat Tolak Tambang bersama dengan 95 warga lainnya.
Meskipun sikap penolakan warga terhadap kegiatan pertambangan telah muncul namun upaya untuk mengkeruk ruang-ruang kehidupan warga Nangarawa tetap berjalan. Hal ini ditandai dengan munculnya Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Manggarai Timur 2008-2027. Ranperda RTRW itu secara telanjang dan tanpa malu-malu menampilkan satu pasal represif yang berbunyi “Rencana pengembangan kawasan pertambangan ini adalah Eksploitasi bahan galian C di Kampung Nangarawa, Desa Bamo dan Wae Rua, Desa Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba.” (Paragraf 3 “Kawasan Pertambangan”, Pasal 26 RTRW Kabupaten Manggarai Timur).
Menyikapi Ranperda RTRW itu, Tim JPIC OFM Flores: Koordinator JPIC OFM Flores, Pater Mateus Batubara OFM, Emil Sarwandi SH dan Marianus Kisman dan Ketua Dewan Stasi Nangarawa, Bapak Agustinus Mbadu kembali melakukan penguatan bagi masyarakat Nangarawa. Kegiatan penguatan berlangsung dua tahap yaitu pada 10 dan 15 Juni 2010. Masyarakat Nangarawa disuguhkan beberapa fakta-fakta real tentang kerusakan dan manipulasi yang sering terjadi dalam industri pertambangan di bumi Manggarai yang hanya membawa kesengsaraan bagi masyarakat setempat dan kehancuran lingkungan yang permanen. Hal ini sudah nyata terjadi dalam kasus pertambangan PT Sumber Jaya Asia di kawasan Hutan Lindung Torong Besi di Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai dan kasus pertambangan PT Arumbai Mangabekti di kampung Serise, Kecamatan Lambaleda Kabupaten Manggarai Timur.
Puncak dari kegiatan penguatan adalah dilakukannya upacara adat yang diikuti itu seluruh warga Nangarawa Desa Bamo (4/7) di pantai Nangarawa persis di depan mesjid. Mereka melakukan acara ritual adat kepada leluhur yang dalam bahasa daerah Rongga dikenal dengan sebutan “Tunu Manuk”. Acara ritual adat itu dipimpin langsung oleh Tua Adat Suku Lowa, Bapak Donatus Jamu. Lewat ritual adat itu warga Nangarawa memohon kepada leluhurnya agar turut serta mendukung langkah mereka untuk menolak tambang. Puncak dari kegiatan tolak tambang diungkapkan dalam Perayaan Ekaristi di tempat yang sama. Perayaaan ekaristi dipimpin oleh Ketua JPIC Keuskupan Ruteng, Rm. Charles Pr dan Koordinator JPIC OFM Flores, Pater Mateus Batubara OFM.
Yang menarik dari acara ritual adat dan perayaan Ekaristi adalah semua warga Nangarawa yang beragama muslim turut serta dalam perayaan ekaristi. Ketua JPIC Keuskupan Ruteng, Rm. Charles Pr mengatakan bahwa lewat perayaan yang menyelamatkan ini sudah menjadi nyata apa yang menjadi motto tahbisan Uskup Ruteng, Mgr Hubertus Leteng, “OMNES VOS FRATRES ESTIS” (KAMU SEMUA ADALAH SAUDARA). Agama dan keyakinan tidak menjadi sekat bagi manusia untuk bersaudara.
Sementara Koordinator JPIC OFM Flores, Pater Mateus Batubara OFM dalam homilinya mengajak umat untuk tampil seperti hamba Tuhan, Nabot yang tetap mempertahankan kepemilikan kebun anggurnya (1 Raja-Raja 21:1–10). Nabot tidak pernah tergoda oleh tawaran Raja Ahab sebagai penguasa kala itu untuk menukar tanah warisan leluhurnya dengan uang. Karena itu Pater Mateus mengajak semua masyarakat Nangarawa untuk tampil seperti Nabot ketika berhadapan dengan bujukan dan rayuan penguasa dan pengusaha pertambangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar