Senin, 05 Juli 2010

Masyarakat Nangawarawa Menolak Hadirnya Pertambangan


Beberapa ibu sedang menanam pohon di Pantai Nangarawa. Bentuk perlawanan terhadap arogansi industri pertambangan

Borong,-Nangarawa adalah kampung kecil di wilayah pantai selatan Kabupaten Manggarai Timur yang secara administratif termasuk wilayah Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba. Ketika isu pertambangan menjadi buah bibir di seantero pulau flores, masyarakat Nangarawa juga mulai angkat bicara. Isu pertambangan mulai dibicarakan dari rumah ke rumah sekitar tahun 2007 yang lalu ketika hadirnya beberapa orang asing seperti dari China, Thailand dan Jepang di Nangarawa untuk melakukan penelitian di sekitar bibir pantai Nangarawa. Masyarakat Nangarawa sendiri belum pernah memberi izin atas ruang-ruang kehidupannya untuk diteliti oleh siapapun. Namun, berdasarkan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Kabupaten Manggarai Tahun 2005 – 2010 bagian pertambangan terungkap dengan jelas bahwa Pemerintah sudah memberikan Kuasa Pertambangan Pasir Besi di Nangarawa dan Tanjung Bendera, Kecamatan Kota Komba kepada PT Tribina Sempurna seluas 1.484 ha. Perusahaan inilah yang juga turut andil dalam proses kehancuran hutan lindung Torong Besi di Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai. Ketika warga lingkar tambang di sekitar hutan Torong Besi menggugat perusahaan itu sebagai turut tergugat dalam gugatan perwakilan kelompok di Pengadilan Negeri Ruteng tak satu kalipun perusahaan ini hadir di persidangan.

Masyarakat Nangarawa juga mengakui bahwa sekitar tahun 2008 Pemda Manggarai Timur yang kala itu masih dipimpin oleh Bpk. Frans B. Padju Leok sebagai Penjabat Manggarai Timur pernah datang ke kampung Nangarawa melalui jalur laut untuk mensosialiasikan adanya rencana kegiatan pertambangan pasir besi. Menurut kesaksian warga, kehadiran Pemda Manggarai Timur kala itu bukan untuk sosialisasi melainkan untuk menegaskan sikap Pemerintah Daerah kepada warga Nangarawa bahwa Pemerintah sudah menandatangani MOU dengan para investor pertambangan di Jakarta untuk menerima kegiatan pertambangan di Nangarawa. Oleh karena itu, masyarakat harus menerima segala bentuk kegiatan pertambangan. Hal yang lebih menyedihkan adalah bahwa Pemerintah juga mengatakan adanya rencana relokasi seluruh warga Nangarawa ke tempat yang baru.

Kecemasan warga akan keberlangsungan hidupnya di tanah Nangarawa menjadi kecemasan Gereja Keuskupan Ruteng. Ketua Dewan Stasi Nangarawa, Bapak Agustinus Mbadu dan Pastor Paroki Kisol, Rm. Mansu Pr berinisiatif melakukan penguatan bagi seluruh warga Nangarawa baik yang beragama Katolik maupun Islam. Penguatan itu dilakukan di Gereja Stasi Nangarawa sekitar tahun 2008 yang lalu bersama dengan Vikep Borong, Rm. Beny Jaya Pr. Kala itu semua warga sepakat untuk menolak segala bentuk kegiatan pertambangan.

Masyarakat Nangarawa menyatakan sikap penolakan terhadap semua bentuk kegiatan pertambangan dalam surat penolakannya tertanggal 30 Mei 2010 yang ditujukan kepada Bupati Manggarai Timur di Borong. Surat penolakan tersebut ditandatangani oleh Bapak Agustinus Mbadu selaku Koordinator Musyawarah Masyarakat Tolak Tambang bersama dengan 95 warga lainnya.

Meskipun sikap penolakan warga terhadap kegiatan pertambangan telah muncul namun upaya untuk mengkeruk ruang-ruang kehidupan warga Nangarawa tetap berjalan. Hal ini ditandai dengan munculnya Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Manggarai Timur 2008-2027. Ranperda RTRW itu secara telanjang dan tanpa malu-malu menampilkan satu pasal represif yang berbunyi “Rencana pengembangan kawasan pertambangan ini adalah Eksploitasi bahan galian C di Kampung Nangarawa, Desa Bamo dan Wae Rua, Desa Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba.” (Paragraf 3 “Kawasan Pertambangan”, Pasal 26 RTRW Kabupaten Manggarai Timur).

Menyikapi Ranperda RTRW itu, Tim JPIC OFM Flores: Koordinator JPIC OFM Flores, Pater Mateus Batubara OFM, Emil Sarwandi SH dan Marianus Kisman dan Ketua Dewan Stasi Nangarawa, Bapak Agustinus Mbadu kembali melakukan penguatan bagi masyarakat Nangarawa. Kegiatan penguatan berlangsung dua tahap yaitu pada 10 dan 15 Juni 2010. Masyarakat Nangarawa disuguhkan beberapa fakta-fakta real tentang kerusakan dan manipulasi yang sering terjadi dalam industri pertambangan di bumi Manggarai yang hanya membawa kesengsaraan bagi masyarakat setempat dan kehancuran lingkungan yang permanen. Hal ini sudah nyata terjadi dalam kasus pertambangan PT Sumber Jaya Asia di kawasan Hutan Lindung Torong Besi di Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai dan kasus pertambangan PT Arumbai Mangabekti di kampung Serise, Kecamatan Lambaleda Kabupaten Manggarai Timur.

Puncak dari kegiatan penguatan adalah dilakukannya upacara adat yang diikuti itu seluruh warga Nangarawa Desa Bamo (4/7) di pantai Nangarawa persis di depan mesjid. Mereka melakukan acara ritual adat kepada leluhur yang dalam bahasa daerah Rongga dikenal dengan sebutan “Tunu Manuk”. Acara ritual adat itu dipimpin langsung oleh Tua Adat Suku Lowa, Bapak Donatus Jamu. Lewat ritual adat itu warga Nangarawa memohon kepada leluhurnya agar turut serta mendukung langkah mereka untuk menolak tambang. Puncak dari kegiatan tolak tambang diungkapkan dalam Perayaan Ekaristi di tempat yang sama. Perayaaan ekaristi dipimpin oleh Ketua JPIC Keuskupan Ruteng, Rm. Charles Pr dan Koordinator JPIC OFM Flores, Pater Mateus Batubara OFM.

Yang menarik dari acara ritual adat dan perayaan Ekaristi adalah semua warga Nangarawa yang beragama muslim turut serta dalam perayaan ekaristi. Ketua JPIC Keuskupan Ruteng, Rm. Charles Pr mengatakan bahwa lewat perayaan yang menyelamatkan ini sudah menjadi nyata apa yang menjadi motto tahbisan Uskup Ruteng, Mgr Hubertus Leteng, “OMNES VOS FRATRES ESTIS” (KAMU SEMUA ADALAH SAUDARA). Agama dan keyakinan tidak menjadi sekat bagi manusia untuk bersaudara.

Sementara Koordinator JPIC OFM Flores, Pater Mateus Batubara OFM dalam homilinya mengajak umat untuk tampil seperti hamba Tuhan, Nabot yang tetap mempertahankan kepemilikan kebun anggurnya (1 Raja-Raja 21:1–10). Nabot tidak pernah tergoda oleh tawaran Raja Ahab sebagai penguasa kala itu untuk menukar tanah warisan leluhurnya dengan uang. Karena itu Pater Mateus mengajak semua masyarakat Nangarawa untuk tampil seperti Nabot ketika berhadapan dengan bujukan dan rayuan penguasa dan pengusaha pertambangan.

Sesudah perayaan ekaristi, kegiatan penolakan tambang dilanjutkan dengan tindakan konkrit yaitu menanam lima ratus batang pohon di sepanjang areal sempadan pantai Nangarawa. Jenis pohon yang ditanam adalah pohon waru, mangrove dan beringin. Kegiatan penanaman ini diawali penanam pohon secara simbolis dilakukan di tempat perayaan ekaristi oleh Rm. Charles Pr, Pater Mateus Batubara OFM, Ibu Carolina dan Suster Cristin Pasaribu KSSY. Setelah itu serentak semua masyarakat Nangarawa, dipandu oleh kelompok PANDAWA (Persatuan Anak Muda Nangarawa) menanam pohon sepanjang areal pantai. Menurut ketua Pandawa, Bapak Vincentius John kegiatan penanaman lima ratus pohon di areal sempadan pantai Nangarawa adalah satu bentuk tandingan terhadap rencana kegiatan pertambangan. “Kami selalu bersahabat dengan laut. Kami tidak ingin kegiatan pertambangan membuat laut marah pada kami sehingga terjadi abrasi laut nantinya. Kami ingin menjadikan kawasan Pantai Nangarawa sebagai kawasan Wisata dan Budaya bukan kawasan Keruk” ungkap Hendrikus Sadi. Lewat kegiatan ini kita berharap agar Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur semakin terbuka atas suara masyarakat yang mengajukan konsep tata ruang wilayahnya sendiri.***Valens/Mateus Batubara, OFM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar