Para tokoh agama melakukan ibadat di lokasi tambang PT Sumber Jaya Asia di Torong Besi, Reok, Kab. Manggarai, Flores, NTT
Ruteng,- Para tokoh agama yang berjumlah 31 orang dari latar belakang agama yang berbeda di NTT mengikuti pelatihan hak ekonomi, sosial dan budaya di Ruteng, Kabupaten Manggarai. Kegiatan pelatihan berlangsung dari tanggal 5 sampai dengan 10 Juli 2010. Pemberi materi adalah Direktur Institute for Ecosoc Rights, Ibu Sri Palupi. Khusus dalam bidang pertambangan materi disajikan oleh Bang Chalid Muhamad. Lewat pelatihan ini para tokoh agama diajak untuk lebih peka akan soal-soal seputar hak ekonomi, sosial dan budaya yang ada dalam pergumulan sehari-hari. Hal yang menarik selama pelatihan ini adalah adanya satu dialog teologi di antara para tokoh agama yang hadir. Ada satu titik temu yang membawa para tokoh agama untuk mampu ke luar dari ruang-ruang yang hanya menempatkan agama sebatas peribadatan.
Ketika Pertambangan menjadi isu krusial untuk Nusa Tenggara Timur, para tokoh agama sepakat untuk melahirkan satu pernyataan sikap yang diberi judul “Pohon untuk kehidupan, bukan tambang”. Pernyataan sikap ini disampaikan sebagai wujud keprihatinan terhadap penderitaan dan ancaman keselamatan warga NTT akibat kegiatan pertambangan. Beberapa keprihatinan yang terekam dari realita pertambangan yang ada di Nusa Tenggara Timur adalah
Pertama, Meningkatnya keterlibatan anak usia sekolah dalam penggalian mangan yang berdampak pada tingginya angka putus sekolah dan resiko kematian dini pada anak-anak.
Kedua, Munculnya fenomena perbudakan akibat jeratan hutang pada masyarakat di lingkar tambang. Pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan tambang meminjamkan sejumlah uang secara terus menerus sampai pemilik tanah tidak mampu membayar sehingga merelakan tanahnya diambil untuk kegiatan pertambangan. Pemilik tanah selanjutnya menjadi buruh tambang sementara warga yang tidak memiliki tanah mendapatkan kemudahan untuk berhutang (uang dan barang) asalkan mereka menjadi pekerja tambang.
Ketiga, Munculnya ketegangan sosial dengan kehadiran dan keterlibatan aparat keamanan (polisi dan militer) dan Pol PP
Keempat, Maraknya perjudian dan prostitusi di wilayah lingkar tambang.
Kelima, Ancaman krisis pangan dan kelaparan akibat meningkatnya alih fungsi lahan produktif dan ditinggalkannya kerja-kerja bertani, berkebun, beternak dan menangkap ikan/ melaut.
Keenam, masyarakat didorong untuk menjadi pelaku perusak lingkungan dengan adanya pertambangan rakyat. Dalam system pertambangan ini, korporasi mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan melepas tanggung jawab terhadap pemenuhan hak para penggali tambang dan tanggung jawab atas kerusakan lingkungan.
Ketujuh, diabaikannya hak atas informasi tentang bahaya bahan galian tambang, ini terlihat dari beberapa fenomena berikut : warga meminum air yang keluar dari bekas galian tambang, warga mencicipi bahan galian tambang untuk mengetes rasa bahan tambang, warga makan setelah menggali tanpa mencuci tangan terlebih dahulu bahkan ada warga yang menaruh batu mangan ke dalam sumur untuk mengurangi rasa asin air sumur.
Kedelapan, hilangnya investasi bernilai milyaran rupiah dalam bentuk infrastruktur jalan yang rusak akibar dilalui kendaraan berat yang memuat hasil tambang
Kesembilan, diabaikannya kepentingan generasi yang akan datang yang juga memiliki hak atas bumi, air, udara dan kekayaan alam serta kehidupan yang lebih baik.
Puncak dari seluruh pelatihan para tokoh agama ini adalah kunjungan ke lokasi tambang pada tanggal 10 Juli 2010 di Torong Besi, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai dan di Serise, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur. Kunjungan ke lokasi tambang Torong Besi diisi dengan ibadat bersama yang dipimpin oleh Pendeta Loth Ba’un, S.Th dari gereja GMIT/ TTS. Dalam renungan singkatnya Pendeta Loth mengungkapkan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh PT Sumber Jaya Asia di lokasi hutan lindungan menggambarkan “hati Allah yang tercabik-cabik”. Ada peristiwa menarik yaitu ketika ibadat ditutup dengan doa penutup muncul teriakan beberapa monyet dari kejauhan yang saling sahut-menyahut. Rupanya doa para tokoh agama disambut gembira para saudara monyet yang merasa gembira karena hutan yang adalah habitatnya ternyata masih diperhatikan. Setelah ibadat kegiatan dilanjutkan dengan penanaman beberapa batang pohon sebagai pohon kehidupan. Kegiatan penanaman pohon kehidupan di bekas lokasi tambang PT Sumber Jaya Asia adalah bentuk perlawanan terhadap semua kegiatan pertambangan yang merusak lingkungan di Nusa Tenggara Timur. Setelah penanaman pohon kehidupan di Torong Besi para tokoh agama bergerak menuju Serise. Kegiatan di Serise lebih merupakan suatu penguatan bagi seluruh warga Serise untuk tetap kuat dan kompak dalam menghalau perusahaan tambang.*** (Mateus Batubara, OFM)
1 komentar:
keterlibatan tokoh agama atas ekologi (sosial) yang telah da terus tercederai, hic et nunc, melengkapi teks (kotbah) ke konteks. Meski terlambat agamawan betindak, tapi kiranya refleksi hari ini melahirkan aksi pastoral yang lebih bermakna, berpihak dan profetis. Terlepas dari rahasianya "menunggu Uskup baru", tetapi ini adalah awal yang cerdas! (wempy Anggal, Pusat kaji dan transformasi Sumberdaya Lokal NTT).
Posting Komentar