Sabtu, 27 November 2010

Obama, Polri, dan Ilegalitas Mangan di Manggarai

Obama, Polri, dan Ilegalitas Mangan di Manggarai


Chalid Muhammad, Ketua Institud Hijau Indonesia.

“Di NTT (Nusa Tenggara Timur-red) banyak sekali Obama. Singkatan dari Ojeg Bawa Mangan. Ojeg-ojeg inilah yang selama ini diloloskan dari pemeriksaan polisi.”
Demikian ungkap Chalid Muhammad, Ketua Institut Hijau Indonesia, dalam konferensi pers yang digelar oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Institut Hijau Indonesia (IHI), dan Justice, Peace, and Integrity of Creation-Ordo Frantrum Minorum (JPIC-OFM) Jumat (26/11), di Jakarta.

“Menjual bahan mentah mangan adalah ilegal dan merupakan tindak kriminal. Di Manggarai, polisi diduga kuat terlibat dalam penjualan mangan melalui obama-obama itu. Karenanya, kami menuntut DPD (Dewan Perwakilan Daerah-red) untuk menyurati Kapolri (Kepala Kepolisian RI-red), menyatakan adanya dugaan keterlibatan instansi Polri dalam penjualan mangan ilegal di Nusa Tenggara Timur yang perlu diusut tuntas,” tegas Chalid.

Undang-Undang Mineral dan Batu Bara sebagai pengganti Undang-Undang Pertambangan Tahun 1967 memang telah dengan tegas mengatur pelarangan ekspor langsung bahan mentah hasil tambang ke luar negeri. Namun pada kenyataannya, mangan hasil tambang di Manggarai sebagian besar masih diekspor secara mentah untuk kebutuhan negara lain, alih-alih diolah terlebih dahulu di dalam negeri. Regulasi ini seakan menjadi tak bertaring. (lihat Industri Tambang, Industri Petaka).

“Jika kita googling kata ‘mangan’ di google, marak sekali terlihat penjualan mangan di Manggarai. Macam orang jualan pulsa,” ujar Kristoforus Tara, Sekretaris Eksekutif OFM, kepada LenteraTimur.com.
Mengenai fenomena industri pertambangan ini, Chalid pun memberikan data pembanding.
“World Coal Institute pada tahun 2008 mencatat bahwa 82,52 persen dari 246 juta ton batu bara Indonesia diekspor. Bandingkan dengan China yang memproduksi 2.761 juta ton dan hanya mengekspor 1,7 persen. Sisanya, 98,3 persen, digunakan untuk kepentingan domestik,” papar Chalid.

Undang-undang lain yang berwatak eksploitatif dan pro korporasi yang diproduksi pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Undang-Undang itu telah memberikan peluang bagi korporasi untuk menguasai tanah selama 95 tahun, sesuatu yang lebih lama bahkan dari zaman penjajahan Belanda-VOC.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pun menyebutkan bahwa 35 persen daratan Indonesia diizinkan untuk dibongkar oleh industri pertambangan. Jika saja setiap petani memiliki satu hektar tanah, maka akan ada 26,7 juta petani miskin yang sebenarnya dapat tertolong untuk memperbaiki kehidupan ekonominya.
“Karena itu saya menegaskan, tugas pertama ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi-red) kita yang baru adalah menguak praktik korupsi yang hampir dapat dipastikan terjadi dalam setiap pemberian izin kuasa pertambangan,” demikian ujar Chalid.



Anggota Dewan Nusa Tenggara Timur, Abaraham Liyanto
Ketidakadilan agraria di Indonesia memang berusia setua umur Undang-Undang Agraria Nomor 5 Tahun 1960 itu sendiri. Menurut Badan Pertanahan Nasional, melalui www.ugm.ac.id, 56 persen aset yang ada di tanah air, baik berupa properti, tanah, maupun perkebunan, dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia.
“Kehadiran tambang memang telah lama meniadakan hak bertani warga,” keluh Agustinus Dawarja, praktisi hukum dan aktivis Kelompok Peduli Manggarai.

Menanggapi hal ini, Abraham Liyanto, anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Timur, mengemukakan pendapatnya.
“Maksud dan tujuan pertambangan jika dikembalikan pada konstitusi sebenarnya baik; untuk kesejahteraan rakyat. Namun, pelaku pertambangan dan pemerintah yang memberi izin pertambangan tersebut belum menjalankan konstitusi secara benar. Ada sistem izin penggunaan tanah yang masih simpang siur. Ada conflict of interest (konflik kepentingan-red)di antara instansi pemerintah dan pengusaha dalam permasalahan tambang di Manggarai,” demikian aku Abraham.

Abraham pun mengajak semua pihak untuk duduk bersama guna mencerahkan ini.
“Kembalikan lagi segalanya pada feasibility studies (studi kelayakan-red). Jika memang pertambangan tidak menguntungkan dan mensejahterakan masyarakat, pertambangan wajib ditutup,” tegas Abraham. ()

Sumber: www.lenteratimur.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar