“Teu ca ambo neka woleng lako, muku ca pu’u neka woleng curup…”
Kalimat bermakna ‘menjaga persatuan dalam cara berpikir, bertutur, dan bertindak’ ini adalah wajah kearifan lokal budaya adat Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang sangat menjunjung tinggi azas kekeluargaan.
Namun, sejak fase eksploitasi pertambangan mangan dilakukan di tanah ini pada 1997 oleh PT. Arumbai Mangabekti (AMB), budaya konflik perlahan mulai menggerus falsafah hidup rukun tersebut.
“Pertambangan mangan di Manggarai tidak hanya merusak ekosistem, tapi juga telah merusak budaya lokal berupa sistem distribusi hak,” jelas Agustinus Dawarja, praktisi hukum dan aktivis Kelompok Peduli Manggarai, dalam konferensi pers yang digelar oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Institut Hijau Indonesia (IHI), dan Justice, Peace, and Integrity of Creation-Ordo Frantrum Minorum (JPIC-OFM), Jumat (26/11), di Jakarta.
Masyarakat Manggarai mengenal ungkapan ‘gendang one lingkon peang’. Maknanya adalah bahwa pada setiap pemukiman yang terpusat dalam mbaru gendang (rumah gendang), ada tanah-tanah garapan bagi warga kampung yang disebut dengan lingko. Lingko-lingko inilah tanah tanah ulayat yang dibagikan kepada warga kampung sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup.
Dalam membagi tanah-tanah lingko, masyarakat Manggarai menerapkan prinsip “bahi gici arit cingke gici iret, kudu te agil cama laing”, yang berarti ‘membagi secara adil dan merata demi kesejahteraan bersama’. Sistem pembagian lingko ini dikenal sebagai sistem lodok (titik pusat). Dalam sistem ini, membagi lingko mesti berawal dari teno, sebatang kayu yang diambil dari pohon yang dikenal bernama haju teno di pusat lingko. Dari teno inilah ditarik garis lurus/jari-jari hingga langgang (batas terluar tanah).
“Formasi garis dari sistem lodok ini jika dilihat dari atas akan menyerupai jaring laba-laba,” jelas Agustinus.
Ukuran besaran tanah dalam sistem lodok adalah moso (satu jari tangan) sebagai dasar pembagian awal. Besaran moso tergantung pada berapa banyak jumlah warga yang akan menerima pembagian di lingko tersebut. Makin banyak yang akan menerima, makin kecil ukuran moso. Demikian pula sebaliknya.
Selain itu, besaran moso juga bergantung pada kedudukan orang. Ada istilah moso biasamoso kina (satu setengah jari), dan moso wase (tiga jari). Warga yang dianggap sebagai tu’a golo atau tu’a teno (pemimpin) biasanya mendapat moso wase (tiga jari) yang merupakan ukuran paling besar. (satu jari),
“Setiap warga tidak dapat memperoleh tanah di luar wilayah yang ditentukan ini,” tambah Agustinus.
Warga Manggarai juga masih memeluk falsafah “neka oke kuni agu kalo”. Falsafah ini kurang lebih berarti, ‘jangan melupakan kampung halaman sebagai asal usul’. Inilah alasan utama mengapa masyarakat Manggarai pada umumnya sangat keras mempertahankan lingko miliknya.
Pemilik lingko mestilah warga beo (suku) yang memiliki ikatan genealogis. Merekalah sesungguhnya yang patut disebut sebagai ‘ata ngara tana’, tuan atas tanahnya. Karenanya, orang-perorang secara pribadi, atau bahkan perusahaan, di luar Manggarai sebenarnya tidak dapat memiliki tanah lingko di Manggarai.
“Pihak luar Manggarai seperti PT. AMB mesti dianggap sebagai warga terlebih dahulu untuk dapat memperoleh hak atas tanah tersebut. Izin tersebut juga mesti atas persetujuan seluruh warga dengan syarat bahwa pengelolaan tanah tersebut akan memberi manfaat bagi masyarakat-masyarakat lain. Namun, bukannya memberi manfaat, industri tambang yang ada di Manggarai justru menyebar konflik dan benih ketakutan akan kerusakan alam mereka yang membuat resah masyarakat.” tutur Agustinus.
Kala kali pertama perusahaan tambang anggom le anggom lau”, yang berarti ‘ambil sana-sini’. akan beroperasi, ada janji-janji yang diumbar agar perusahaan mendapatkan izin lahan di Manggarai. Namun pada kenyataannya, setelah izin dikeluarkan oleh pemerintah daerah, janji tersebut tak kunjung berbukti. Kini merebak konflik pertanahan secara terbuka karena perilaku “
“Yang mengeksplorasi siapa, yang memberi janji siapa, yang menambang siapa, yang memberi izin siapa, yang mendapat dampak siapa, semua adalah pihak-pihak yang berbeda. Tidak ada kesinambungan informasi. Ada oknum yang bertanggungjawab dalam peralihan-peralihan tersebut. Inilah yang mesti ditelusuri,” ujar Peter C. Aman, Direktur Justice, Peace, and Integrity of Creation-Ordo Frantrum Minorum (JPIC-OFM).
Hal-hal semacam inilah yang memicu konflik-konflik tanah di Manggarai. Jadi, bagaimana sesungguhnya upaya terbaik dalam menyelesaikan konflik-konflik pertanahan di Manggarai?
Lemahnya lembaga-lembaga penegakan hukum di tanah air yang cenderung menunjukkan bahwa keadilan bisa diperjual-belikan, melekat erat dalam benak masyarakat. Di pengadilan, konflik justru menjadi semakin pelik (lihat Emas di Taman Nasional, Siapa Punya?).
“Undang-Undang Agraria dibangun berdasarkan basis hak ulayat. Sertifikat tanah adalah hak lanjutan dari hak ulayat, hak adat. Inilah jiwa dari seluruh konsep tanah yang semestinya diperhatikan betul oleh negara. Kini terbukti, perusahaan adalah kumpulan modal telah menindas masyarakat yang terdiri dari kumpulan orang. Padahal, proklamasi kemerdekaan kita memerdekakan hak kemanusiaan dan hak hidup, bukan hak perusahaan atau hak berkeuntungan. Karenanya, negara mesti berubah; berpihak pada people rights, bukan company rights,” tegas Agustinus.
Akhirnya, mesti diakui bahwa banyak kasus konflik menjadi konflik terbuka di Manggarai justru karena melangkahi penyelesaian-penyelesaian secara adat (lihat Negara dan Masyarakat Adat Tidak Harmonis). Karenanya, konflik-konflik tanah ini perlu mengalami reposisi, dikembalikan kepada pemimpin beo seperti tu’a golo, atau tu’a teno. Lembaga inilah yang semestinya menjadi instansi pertama dalam mengatur dan membagi lingko-lingko sesuai dengan aturan adat Manggarai. Dari sinilah baru kemudian nanti dapat dirunut, pada titik mana benang kusut itu mesti diusut dan diputus. (Ken Miryam Vivekananda Fadlil)
Sumber: www.lenteratimur.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar